Perkembangan
Sosio-emosi Di Masa Kanak-Kanak Awal
1.1 Latar Belakang
Emosi
merupakan perasaan yang terjadi ketika seseorang berada dalam suatu kondisi
atau terlibat dari suatu interaksi yang penting baginya. Emosi ditandai dengan
perilaku yang mencerminkan rasa senang atau tidak senang dari seseorang yang
sedang berada dalam suatu kondisi atau interaksi.
Sebagai
bayi, perkembangan sosioemosi anak-anak menunjukan kemajuan berarti ketika
pengasuhnya (terutama orang tua) mensosialisasikan mereka, dan mereka mengembangkan
cara yang lebih rumit untuk memulai interaksi sosial dengan orang lain.
Perkembangan kelekatan yang aman adalah aspek kunci perkembangan bayi, dan
perkembangan otonomi di tahun kedua kehidupan menyiratkan pencapaian penting.
Ketika anak-anak melewati masa bayi, penting bagi pengasuh untuk memandu
anak-anak meregulasi emosi mereka. Temperamen pun menjadi karakteristik sentral
dari profil bayi dan beberapa gaya temperamen lebih adaptif daripada gaya lain.
Mengasuh anak menjadi lebih umum di tahun-tahun terakhir ini, dan kualitasnya
berbeda-beda. Orang tua tetap berperan penting dalam perkembangan anak di awal
masa kanak-kanak, namun kini kawan sebaya pun mulai berperan.
Pada
masa kanak-kanak awal, kehidupan emosi dan kepribadian anak-anak memperlihatkan
perkembangan yang berarti. Seiring dengan proses ini, dunia mereka yang dulunya
kecil ini menjadi terbuka lebih lebar. Selain pengaruh relasi keluarga,
kawan-kawan sebaya mulai berperan dalam perkembangan anak-anak untuk mengisi
kehidupan sehari-hari.
Dalam
artikel ini akan membahas tentang perkembangan emosi dan kepribadian anak,
pengaruh keluarga terhadap perkembangan anak, dan peran sebaya, bermain, dan
televisi dalam perkembangan anak.
Perkembangan sosioemosi dimasa anak-anak
perlu di pahami dan dapat diterapkan dalam perilaku sehari-hari untuk mengasuh
anak-anak awal. Dengan mengetahui hal tersebut seorang anak dapat berkembang
dengan baik dan memiliki kepribadian yang baik. Perkembangan masa kanak-kanak
awal yang baik akan mmbuat perkembangan selanjutnya akan menjadi baik, begitu
pula sebaliknya jika perkembangan masa kanak-kanak awal kurang baik maka
perkembangan selanjutnya akan kurang baik juga.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Perkembangan Emosi dan Perkembangan Kepribadian
Di
masa kanak-kanak awal, perkembangan sosio-emosi anak-anak kecil ditandai oleh
sejumlah perubahan. Perkembangan pikiran serta pengalaman emosi yang terjadi
menghasilkan kemajuan yang nyata dalam perkembangan diri, kematangan emosi,
pemahaman moral, serta kesadaran gender.
1.
Diri
Di
masa kanak-kanak awal, anak-anak berkembang sedemikian rupa sehingga mereka
mampu menambah pengenalan dirinya.
a.
Inisiatif
versus Rasa Bersalah
Pada
masa kanak-kanak awal, anak-anak menjadi lebih yakin bahwa mereka adalah diri
mereka sendiri. Selama masa kanak-kanak awal, mereka mulai menemukan pribadi
yang diinginkan. Secara intensif mereka mengidentifikasi kepada orang tuanya,
yang hampir selalu terlihat kuat dan cantik, meskipun seringkali tidak masuk
akal, tidak sependapat, dan kadangkala membahayakan. Selama kanak-kanak awal,
anak-anak menggunakan keterampilan perseptual, motorik, kognitif, dan bahasa
untuk melakukan sesuatu. Mereka memiliki kelebihan energi yang memungkinkan
melupakan kegagalan-kegagalannya dengan cepat dan mendekati area-area baru yang
terlihat menarik bahkan meskipun area-area itu terlihat berbahaya tanpa
kekurangan energi dan rasa keterarahan yang meningkat. Pada tahap ini, dengan
inisiatifnya sendiri, anak-anak dengan gembira bergerak menuju dunia sosial
yang lebih luas. Inisiatif ini di pimpin oleh
suara hati. Inisiatif dan antusias mereka tidak hanya memberi reward,
namun juga rasa bersalah, yang dapat menurunkan penghargaan diri.
b.
Pemahaman
Diri dan Memahami Orang Lain
Sebuah penelitian hasil terbaru
mengungkapkan bahwa anak kecil lebih paham secara psikologis kepada diri
sendiri dan orang lain daripada yang selama ini dibayangkan. Meningkatnya
pemahaman psikologi anak ini mencerminkan
kerumitan psikologis anak.
1. Pemahaman
diri
Seorang
anak kecil dengan jelas telah memulai mengembangkan pemahaman diri, yang
merupakan representasi diri, substansi dan isi dari konsepsi diri. Meskipun
bukan merupakan identitas personal yang menyeluruh, pemahaman diri menyediakan
pondasi yang rasional.
Di
masa kanak-kanak awal, anak-anak kecil berpikir bahwa diri dapat
dideskripsikan menurut berbagai
karakteristik material, seperti ukuran, bentuk, dan warna. Mereka membedakan
dirinya dengan orang lain melalui atribut fisik dan mental. Berbagai aktivitas
fisik juga merupakan sebuah komponen sentral dari diri di masa kanak-kanak
awal.
Meskipun
anak-anak kecil seringkali mendeskripsikan dirinya sendiri dengan hal-hal yang
kongkret, terlihat, serta aktivitas. Ketika usia 4 atau 5 tahun, dimana mereka
mendengar orang lain menggunakan sifat psikologis dan istilah-istilah emosi,
mereka mulai memasukkan istilah dan sifat itu dalam penjelasan mengenai mereka
sendiri. Dalam suatu deskripsi diri, seorang anak berusia 4 tahun mungkin akan
berkata “Saya tidak takut. Saya selalu bahagia”.
Deskripsi
diri seorang anak kecil biasanya positif secara realistis, seperti yang
tercermin dalam komentar seorang anak berusia 4 tahun mengatakan bahwa ia
selalu bahagia padahal sebenarnya tidak. Anak-anak mendeskripsikan optimism ini
karena mereka belum dapat membedakan antara kompetensi yang diinginkan dan
kompetensi sebenarnya. Anak-anak juga cenderung menyamakan kemampuan dan usaha.
Mereka berpikir bahwa perbedaan kemampuan dapat diubah dengan mudah sebagaimana
perbedaan usaha tidak melakukan perbandingan sosial spontan terhadap kemampuan
mereka dengan kemampuan orang lain, dan cenderung membandingkan kemampuan
mereka yang sekarang dengan kemampuan mereka pada usia yang lebih kecil.
2. Memahami
orang lain
Anak-anak membuat kemajuan dalam
hal memahami orang lain di masa kanak-kanak awal. Pada usia sekitar 4 tahun
hingga 5 tahun, anak-anak tidak hanya mulai menjelaskan diri mereka sendiri
dalam istilah sifat-sifat psikologis, namun mereka juga mempersepsikan orang
lain demikian. Mungkin saja anak usia 4 tahun berkata, “Guruku baik sekali”.
Peneliti telah menemukan bahwa
anak-anak usia 4 tahun pun mengerti seseorang mungkin akan membuat pernyataan
yang tidak benar untuk memperoleh apa yang diinginkan atau menghindari masalah.
Aspek penting lainnya dari memahami orang lain meliputi pemahaman tentang
komitmen bersama.
2.
Perkembangan
Emosi
Kesadaran mengenai diri yang
berkembang pada seorang anak kecil berkaitan dengan kemampuan merasakan rentang
emosinya yang semakin luas. Seperti orang dewasa, anak-anak kecil mengalami
berbagai emosi dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan emosi di masa
kanak-kanak awal membuat mereka mencoba untuk memahami reaksi-reaksi emosi
orang lain dan mengendalikan emosinya sendiri.
a.
Mengekspresikan
Emosi
Rasa bangga, malu, bersalah, adalah
contoh dari emosi sadar diri. Emosi-emosi sadar diri tidak terlihat berkembang
hingga kesadaran diri muncul di sekitar usia 18 bulan. Selama proses
bertahun-tahun kehidupan kanak-kanak awal, emosi-emosi seperti bangga dan rasa
bersalah menjadi lebih umum. Secara khusus mereka dipengaruhi oleh
respons-respons orang tua terhadap tingkah laku anak. Sebagai contoh, seorang
anak kecil merasa malu ketika orang tuanya mengatakan ,”Kamu seharusnya merasa
bersalah karena telah memukul saudara perempuanmu”.
b.
Memahami
Emosi
Perubahan yang paling penting di
dalam perkembangan emosi masa kanak-kanak awal adalah peningkatan pemahaman
terhadap emosi. Selama masa kanak-kanak awal, anak-anak semakin memahami suatu
situasi dapat menimbulkan emosi tertentu, ekspresi wajah mengindikasikan emosi
tertentu, emosi mempengaruhi tingkah laku, serta emosi dapat digunakan untuk
mempengaruhi emosi orang lain.
Antara usia 2 hingga 4 tahun,
anak-anak memperlihatkan peningkatan jumlah istilah yang mereka gunakan untuk
mendeskripsikan emosi. Selama masa ini, anak-anak juga belajar mengetahui
penyebab dan konsekuensi dari perasaan-perasaan. Ketika anak berusia 4 hingga 5
tahun, mereka memperlihatkan adanya peningkatan kesadaran sehingga mereka perlu
mengelola emosi-emosi mereka agar dapat memenuhi standar sosial. Pada usia 5
tahun, sebagian besar anak-anak dapat menemukan emosi secara akurat, yang
diperoleh dengan menghadapi lingkungan serta menjelaskan strategi yang mereka
lakukan dalam mengatasi tekanan sehari-hari.
c.
Regulasi
Emosi
Regulasi emosi sangat berperan
penting pada kemampuan anak-anak mengelola tuntutan dan konflik yang dihadapi
dalam berinteraksi dengan orang lain.
1. Orang
tua yang melatih emosi dan menolak emosi.
Orang tua dapat berperan penting
dalam membantu anak-anak meregulasi emosi mereka. Orang tua yang melatih emosi
mengawasi emosi anak-anaknya, memandang emosi negatif anak sebagai kesempatan
untuk melatih, membantu anak-anak melabeli emosi, serta melatih anak-anak
bagaimana mengatasi emosi secara efektif. Sebaliknya, orang tua yang menolak
emosi memandang peran mereka untuk menolak, mengabaikan, atau mengubah emosi
negatif. Orang tua yang melatih emosi berinteraksi dengan anak-anaknya dengan
cara yang tidak menampik, lebih banyak mendukung dan memuji, dan lebih bersifat
mengasuh daripada orang tua yang menolak emosi. Lebih jauh lagi, anak-anak dari
orang tua yang melatih emosi lebih dapat menenangkan diri ketika sedang marah,
lebih efektif dalam meregulasi dampak negatif, lebih baik dalam memfokuskan
atensi dan memiliki lebih sedikit masalah.
2. Regulasi
emosi dan relasi dengan kawan sebaya.
Emosi berperan penting dalam
menentukan keberhasilan relasi anak-anak dengan kawan sebaya. Anak-anak yang
moody dan negatif secara emosi cenderung ditolak oleh kawan-kawan sebayanya, di
mana anak-anak yang positif secara emosi lebih populer. Anak usia 4 tahun
mengenali dan menyusun strategi untuk mengendalikan amarahnya lebih baik dari
anak usia 3 tahun.
3.
Perkembangan
Moral
Perkembangan moral mencakup
perkembangan pikiran, perasaan, dan perilaku menurut aturan dan kebiasaan
mengenai hal-hal yang seharusnya dilakukan seseorang ketika berinteraksi dengan
orang lain. Teori-teori perkembangan utama memfokuskan aspek-aspek yang berbeda
dari perkembangan moral.
1.
Perasaan
moral
Rasa cemas dan rasa bersalah
merupakan hal penting dalam menjelaskan perkembangan moral. Menurut Freud,
untuk meredakan kecemasan, menghindari hukuman, dan mempertahankan afeksi orang
tua, anak-anak beridentifikasi dengan orang tua, mengenali standar-standar
mengenai benar atau salah, sehingga terbentuklah superego sebagai elemen moral
dari kepribadian.
Selain rasa bersalah dan cemas,
yang mempengaruhi perasaan moral adalah empati, yaitu reaksi terhadap
perasaan-perasaan orang lain dengan respons emosi yang serupa dengan
perasaan-perasaan orang lain. Untuk tindakan moral yang efektif, anak-anak
perlu belajar bagaimana mengidentifikasi berbagai kondisi emosi dan
mengantisipasi tindakan-tindakan yang dapat membantu kondisi emosi orang lain
membantu perkembangan moral anak-anak.
2.
Penalaran
moral
Dari usia 4 hingga 7 tahun,
anak-anak memperlihatkan moralitas heteronom, tahap pertama dari perkembangan moral
dalam teori Piaget. Dalam pikiran anak-anak, keadilan dan aturan-aturan
dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah dan terlepas
dari kendali manusia.
Dari usia 7 hingga 10 tahun,
anak-anak yang berada di dalam suatu transisi memperlihatkan beberapa ciri dari
tahap pertama penalaran moral dan beberapa ciri dari tahap kedua, moralitas
otonom. Usia 10 tahun keatas, anak-anak memperlihatkan moralitas otonom. Mereka
menyadari aturan-aturan dan hukum-hukum yang diciptakan oleh manusia, menilai
suatu tindakan, dan mempertimbangkan intensi pelaku maupun konsekuensinya.
Karena anak-anak kecil adalah para
moralis heteronom, mereka menilai kebenaran perilaku berdasarkan konsekuensi
dari perilaku itu., bukan berdasarkan intensi dari pelaku. Para pemikir
heteronom juga berkeyakinan bahwa aturan-aturan tidak dapat diubah dan
ditetapkan otoritas yang berkuasa sepenuhnya. Sebaliknya, anak-anak yang lebih
tua para moralis otonom menerima dan mengetahui bahwa aturan-aturan yang ada
hanya merupakan perjanjian-perjanjian yang disepakati bersama untuk kepentingan
kenyamanan, yang dapat diubah.
Para pemikit heteronom juga percaya
pada keadilan yang pasti ada, yaitu konsep bahwa hukuman akan langsung
diberikan jika sebuah aturan dilanggar. Anak kecil berkeyakinan bahwa sebuah penyimpangan secara
otomatis berkaitan dengan hukuman. Anak-anak yang lebih besar, para moralis
otonom mengetahui bahwa hukuman tidak dapat diletakkan hanya jika seseorang
yang menyaksikan perbuatan salah yang dilakukannya.
Didalam kelompok kawan-kawan
sebaya, anak yang satu memiliki pengaruh dan status yang sama dengan anak
lainnya, rencana-rencana dinegosiasi dan dikoordinasi, serta tidak kesetujuan
diungkapkan dan akhirnya disepakati. Relasi orang tua-anak, dimana orang tua
lebih berpengaruh dibandingkan kawan-kawan, kurang melatih pnalaran moral yang
sulit, karena aturan-aturan seringkali ditetapkan secara autoritarian.
3.
Perilaku
moral
Proses penguatan, hukuman, dan
imitasi menjelaskan perkembangan perilaku moral. Ketika anak-anak diberikan
penghargaan karena menampilkan perilaku yang sesuai dengan hukum dan kebiasaan
sosial, mereka cenderung akan mengulang perilaku itu. Ketika mereka diberikan
panutan moral, anak-anak cenderung mengadopsi tindakan mereka. Di samping itu,
ketika anak-anak dihukum karena perilaku
yang tidak bermoral, perilaku itu cenderung tidak diulangi. Meskipun demikian,
hukuman dapat memiliki dampak negatif.
4.
Hati
nurani
Hati nurani mengacu pada regulasi
standar internal tentang benar dan salah yang melibatkan integrasi dari ketiga
komponen perkembangan moral , pemikiran moral, perasaan, dan perilaku.
Anak-anak telah menyadari hal yang benar dan salah, memiliki kapasitas untuk
menunjukan empati terhadap orang lain, mengalami rasa bersalah, menunjukan
perasaan tidak nyaman setelah melakukan pelanggaran, dan sensitif apabila
melanggar peraturan. Hal yang penting adalah adanya kemauan dari anak-anak
untuk mengambil nilai-nilai dari orang tuanya yang diperoleh dari relasi yang
akrab dan positif.
5.
Pengasuhan
dan perkembangan moral anak
Diantara aspek-aspek terpenting
dari relasi antara orang tua dan anak-anak yang berkontribusi terhadap
perkembangan moral anak-anak adalah kualitas relasi, disiplin orang tua,
strategi proaktif, dan dialog berkomunikasi. Kewajiban orang tua adalah
memberikan pengasuhan yang positif dan mengarahkan anak-anak untuk menjadi
manusia yang kompeten. Kewajiban anak-anak adalah merespons dengan pantas inisiatif
orang tua dan mempertahankan relasi yang positif dengan orang tua.
Strategi pengasuhan yang penting
adalah untuk secara proaktif menghindari potensi perilaku yang salah oleh
anak-anak sebelum hal itu terjadi. Untuk anak-anak yang lebih kecil, menjadi proaktif
berarti menggunakan pengalihan, seperti mengalihkan perhatian anak-anak atau
memberikan aktivitas alternatif. Untuk anak-anak yang lebih besar, menjadi
proaktif adalah berkomunikasi kepada mereka mengenai nilai-nilai yang dianggap
penting oleh orang tua.
Komunikasi dapat direncanakan atau
secara spontan dan brrfokus topik seperti kejadian-kejadian yang sudah terjadi(perilaku
salah atau yang baik), bebagai kejadian yang sedang datang (pergi kesuatu
tempat yang menimbulkan perilaku positif) dan kejadian yang mendadak
(berkomunikasi kepada anak tentang luapan marah saudaranya).
4.
Gender
Identitas gender yang merujuk
kepada penghayatan seseorang terhadap gendernya, termasuk pengetahuan,
pemahaman, dan penerimaan menjadi pria atau wanita, dimana sebagian besar
anak-anak memperolehnya ketika mereka berusia 3 tahun. Peran gender merupakan
seperangakat ekspektasi yang menentukan bagaimana wanita dan pria seharusnya
berpikir, bertindak, dan merasa. Selama masa prasekolah, kebanyakan anak-anak
mulai bertindak sesuai dengan peran gender yang ditetapkan oleh budaya yang
berlaku. Tipe gender mengacu pada penerapan peran tradisional dari maskulin
atau feminim. Sebagai contoh, berkelahi adalah karakter peran tradisional
maskulin dan menangis karakter peran tradisional feminim.
1.
Pengaruh
Biologis
Sejumlah faktor biologis yang
berpengaruh adalah kromosom, hormon, dan evolusi. Pasangan ke-23 terdiri dari
kombinasi kromosom X dan Y, biasanya terdapat dua kromosom X pada wanita
terkadang juga sebuah kromosom X dan sebuah kromosom Y pada pria. Hormon
berperan penting dalam perkembangan perbedaan oleh gonads (indung telur pada wanita, testes pada pria). Estrogen, estradiol mempengaruhi
perkembangan karakteristik fisik pada wanita. Androgen, seperti testosteron, mendorong perkembangan karakteristik
fisik pada pria. Hormon seks dapat memengaruhi perkembangan sosio-emosi
anak-anak.
Menurut psikologi evolusioner,
adaptasi selama evolusi manusia mengakibatkan perbedaan antara pria dan wanita.
Karena perbedaan peran mereka dalam reproduksi, pria dan wanita menghadapi
tekanan yang berbeda ketika spesies manusia berevolusi. Secara khusus, karena
pria cenderung akan mewariskan gen-gen mereka, seleksi alam akan mengantungkan
pria yang mengadopsi strategi jangka-pendek dalam berpasangan. Para psikolog
evolusioner menyatakan bahwa pria mengembangkan disposisi yang mengarah pada
perilaku menganggu, kompetisi, dan mengambil resiko.
Sebaliknya, menurut psikolog
evolusioner kontribusi wanita terhadap pewarisan gen akan mengalami kemajuan
ketika mereka menjamin sumberdaya yang dapat memastikan bahwa keturunan mereka
akan bertahan hidup. Konsekuensinya, seleksi natural cenderung memilih wanita
yang mendedikasikan usahanya dalam pengasuhan dan memilih pasangan yang
berhasil, anbisisus, yang memiliki sumberdaya dan mampu melindungi
keturunannya.
Kritik terhadap psikolog
evolusioner menyatakan bahwa hipotesisnya hanya didasarkan pada spekulasi
mengenai prasejarah, bukan didasarkan pada fakta, dan bahwa dalam semua situasi
manusia tidak terikat pada perilaku yang adaptif untuk evolusi di masa lalu.
2.
Pengaruh
Sosial
Banyak ilmuan sosial tidak
melandaskan penyebab perbedaan psikologis dari gender pada disposisi. Mereka
berpendapat bahwa perbedaan ini berkaitan dengan pengalaman sosial. Kaitan
antara pengalaman dengan perbedaan gender dijelaskan oleh teori-teori sosial
dan kognitif.
a. Teori-teori
Sosial Mengenai Gender
Terdapat tiga teori sosial mengenai
gender teori peran sosial, teori psikoanalitik, dan teori sosial kognitif.
Teori peran sosial (social role theory)
yang menyatakan bahwa perbedaan gender disebabkan oleh adanya peran yang
kontras antara wanita dan pria. Pada sebagian besar budaya di seluruh dunia,
wanita memiliki kekuasaan dan status yang lebih rendah dibandingkan pria.
Wanita juga memiliki kendali kecil dibandingkan pria. Dibandingkan dengan pria,
wanita lebih banyak mengerjakan tugas-tugas domestik, lebih sedikit meluangkan
waktu dalam pekerjaan yang dibayar, menerima pendapatan yang lebih kecil, dan
jarang menempati level tertinggi dalam suatu organisasi.
Teori psikoanalisis mengenai gender
(psychoanalytic theory of gender),
anak prasekolah mengembangkan semacam ketertarikan seksual terhadap orang tua
dengan gender yang berbeda. Proses inilah yang disebut disebut sebagai Oedipus (untuk anak laki-laki) atau electra (untuk anak perempuan) complex. Ketika berusia 5 atau 6 tahun,
seorang anak meninggalkan ketertarikan ini karena perasaan cemas. Setelah itu,
anak beridentifikasi dengan orang tua dengan gender yang sama ini. Anak-anak
memiliki karakteristik yang tipikal sesuai gendernya, sebelum berusia 5 atau 6
tahun, mereka menjadi maskulin atau feminim meskipun orang tua dengan gender
yang sama tidak hadir di dalam keluarga.
Teori kognitif sosial mengenai
gender (social cognitive theory of
gender), perkembangan gender anak-anak terjadi melalui observasi dan
imitasi terhadap hal-hal yang dikatakan dan dilakukan orang lain, serta melalui
penghargaan dan hukuman yang diterima untuk perilaku yang sesuai dan tidak
sesuai dengan gender. Semenjak dilahirkan, para pria dan wanita diperlakukan
secara berbeda. Ketika para bayi dan balita memperlihatkan perbedaan gender,
orang dewasa cenderung memberi penghargaan. Orang tua seringkali menggunakan
metode hadiah dan hukuman ketika mengajar anak perempuannya untuk menjadi
feminim dan anak-anak laki-lakinya menjadi maskulin. Budaya, sekolah, kawan
sebaya, media, dan para anggota keluarga lainnya juga menjadi model peran
gender.
Pengaruh orang tua, melalui
tindakan dan melalui contoh yang di berikan, mempengaruhi perkembangan gender
anak-anaknya . Baik ibu maupun ayah penting secara psikologis terhadap
perkembangan gender anak mereka.
Meskipun demikian, budaya di seluruh dunia cenderung memberikan peran yang
berbeda kepada mereka.
Di banyak budaya, ibu mensosialisasikan anak perempuannya agar lebih
patuh dan bertanggung jawab dari pada laki-laki. Ibu juga memberikan lebih
banyak batasan terhadap otonomi anak perempuan. Ayah menunjukan atensi lebih
kepada anak laki-laki daripada anak perempuan, lebih banyak melakukan aktivitas
dangan anak laki-laki, serta lebih mendukung perkembangan intelektual anak
laki-laki. Orang tua memberikan diskriminasi yang paling awal berkaitan dengan
peran gender. Meskipun demikian, tidak lama kemudian, kawan sebaya ikut serta
dalam proses merespons dan meniru perilaku maskulin dan feminim. Bahkan,
kawan-kawan sebaya berperan penting bagi perkembangan gender sedemikian rupa
sehingga taman bermain disebut sebagai “sekolah gender”.
Kawan-kawan sebaya secara luas
menghargai dan menghukum perilaku gender. Sebagai contoh, ketika anak bermain
dengan cara yang menurut budaya dinyatakan sesuai dengan gendernya, kawan-kawan
sebaya cenderung menghargai mereka. Namun kawan-kawan sebaya sering kali
menolak anak-anak yang bertindak dengan cara yang dianggap lebih mencerminkan
karakteristik dari gender lain.
Gender membentuk aspek-aspek yang
penting dalam relasi dengan kawan sebaya. Gender mempengaruhi komposisi dari
kelompok anak-anak, ukuran kelompok, serta interaksi di dalam kelompok.
Ketika menginjak usia sekitar 3
tahun, anak-anak sudah memperlihatkan prefensi untuk menghabiskan waktu dengan
teman-teman bermain yang bergender sama. Dari usia 4 hingga 12 tahun, perfensi
untuk bermain dengan kelompok gender yang sama meningkat, dan selama
tahun-tahun sekolah dasar anak-anak melewatkan sebagian besar waktu luangnya
dengan anak-anak yang bergender sama.
Ukuran kelompok, usia anak 5 tahun
keatas, anak laki-laki cenderung bergabung dengan kelompok yang lebih besar
dibandingkan anak perempuan. Anak laki-laki juga cenderung berpartisipasi di
dalam berbagai permainan kelompok yang lebih terorganisasi dibandingkan anak
perempuan.
Interaksi dalam kelompok yang
bergender sama. Dibandingkan anak perempuan, anak laki-laki lebih suka terlibat
di dalam permainan fisik, berkompetisi, berkonflik, memperlihatkan ego,
beresiko, dan mencari dominasi. Sebaliknya, anak-anak perempuan lebih suka
terlibat dalam “percakapan kolaborati”, dimana mereka berbicara dan bertindak
secara timbal balik.
3.
Pengaruh
kognitif
Observasi, imitasi, hadiah, dan
hukuman semua merupakan mekanisme di mana gender berkembang sesuai teori
kognitif sosial. Menurut pandangan ini, interaksi antara anak dan lingkungan
sosial merupakan kunci utama bagi perkembangan gender.
Sebuah teori kognitif yang
berpengaruh adalah teori skema gender, yang menyatakan bahwa tipe gender
terjadi ketika anak-anak secara bertahap mengembangkan skema gender atas sesuai
gender dan tidaak sesuai gender dalam budaya mereka. Sebuah skema gender mengorganisasi
dunia berdasarkan wanita dan pria. Anak-anak secara internal termotivasi untuk
memersepsikan dunia dan bertindak sesuai dengan skema mereka yang berkembang
itu. Sedikit demi sedikit, anak-anak memahami hal-hal yang sesuai gender dan
yang tidak sesuai gender dalam budaya mereka, dan mengembangkan skema gender
yang membentuk persepsi mereka terhadap dunia dan apa yang mereka ingat.
Anak-anak lebih termotivasi untuk bertindak sesuai dengan skema gender
tersebut. Jadi, skema gender menjadi landasan bagi tipe gender.
2.2 Keluarga
Kelekatan (attachment) pada seorang pengasuh merupakan relasi sosial yang
penting selama masa bayi. Perkembangan sosial dan emosi juga dibentuk oleh
relasi-relasi lain dan oleh temperamen, konteks, pengalaman sosial di awal
kanak-kanak, serta di masa selanjutnya.
A.
Pengasuhan
Pengasuhan yang baik menarik
memerlukan waktu dan usaha. Perkembangan anak bukanlah kuantitas waktu yang
diluangkan orang tua untuk anak-anaknya kualitas pengasuhan juga penting. Gaya
pengasuhan yang digunakan setiap orang tua bervariasi.
1.
Gaya
pengasuhan Baumrind
Diana Baumrind (1971) berkeyakinan
bahwa orang tua seharusnya tidak menghukum atau bersikap dingin kepada
anak-anaknya. Orang tua seharusnya mengembangkan aturan-aturan dan bersikap
hangat kepada anak-anaknya. Ia mendeskripsikan empat tipe gaya pengasuhan:
1. Pengasuhan
otoritarian (authoritarian parenting)
adalah gaya yang bersifat membatasi dan menghukum, di mana orang tua mendesak
anaknya agar mematuhi orang tua serta menghormati usaha dan jerih payah mereka.
Orang tua otoritarian menempatkan batasan-batasan dan kendali yang tegas pada
anak serta tidak memberi peluang kepada anak-anak untuk bermusyawarah. Orang
tua ototarian juga mungkin memukul anak, menetapkan aturan-aturan secara kaku
tanpa memberikan penjelasan, dan menunjukan kemarahan terhadap anak. Anak-anak
dari orang tua ototaritarian sering kali tidak bahagia, takut, dan cemas ketika
membandingkan dirinya dengan orang lain, tidak memiliki inisiatif, dan memiliki
keterampilan komunikasi yang buruk.
2. Pengasuhan
otoritatif (authoritative parenting)
adalah mendorong anak-anak untuk mandiri namun masih tetap memberi batasan dan
kendali atas tindakan-tindakan anak. Orang tua masih memberikan kesempatan
untuk berdialog secara verbal. Di samping itu orang tua juga bersifat hangat
dan mengasuh. Orang tua otoritatif memperlihatkan rasa senang dan dukungan
sebagai respons tingkah laku yang matang, mandiri, dan sesuai usia
anak-anaknya. Anak-anak yang orang tuanya otoritatif seringkali terlihat riang
gembira, memiliki kendali dirinya dan percaya diri. Mereka cenderung
mempertahankan relasi yang bersahabat dengan kawan-kawan sebaya, kooperatif
dengan orang dewasa, dan mampu mengatasi stres dengan baik.
3. Pengasuhan
yang melalaikan (neglectful parenting)
adalah gaya dimana orang tua sangat sangat tidak terlibat di dalam kehidupan
anak. Anak-anak yang orang tuanya lalai mengembangkan perasaan bahwa
aspek-aspek lain dari kehidupan orang tua lebih penting daripada mereka.
Anak-anak cenderung tidak kompeten dalam sosial. Banyak anak-anak yang kurang
memiliki kendali diri dan tidak mampu independensi secara baik. Mereka sering
kali memiliki harga diri yang rendah, tidak matang, dan mungkin terasing dari
keluarga.
4. Pengasuhan
yang memanjakan (indulgent parenting)
adalah gaya dimana orang tua sangat terlibat dengan anaknya namun kurang
memberikan tuntutan atau kendali terhadap mereka. Orang tua semacam ini
membiarkan anak-anaknya melakukan apapun yang mereka inginkan. Hasilnya adalah
anak-anak yang tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan
selalu berharap kemauan mereka dituruti. Anak-anak dari orang tua yang
memanjakan, jarang belajar menghormati orang lain dan kesulitan mengendalikan
perilakunya. Mereka mungkin mendominasi egosentris, tidak patuh, dan kesulitan
relasi dengan kawan sebaya.
2.
Gaya
pengasuhan dalam konteks
Gaya pengasuhan konteks merupakan
gaya yang diterapkan sesuai dengan etnis atau kebudayaan masing-masing tempat.
Sebagai contoh, orang tua Asia-Amerika seringkali melanjutkan praktik pengasuhan
tradisional Asia yang kadangkala bersifat otoritarian. Orang tua tersebut
menerapkan kendali yang ketat terhadap kehidupan anak-anak.
3.
Hukuman
Selama berabad-abad, hukuman fisik
seperti memukul, dianggap sebagai sebuah keharusan dan bahkan metode yang
dipilih untuk mendisiplinkan anak-anak. Sebuah riset menyimpulkan bahwa hukuman
fisik oleh orang tua diasosiasikan dengan level kepatuhan langsung dan agresi
yang lebih tinggi pada anak-anak.
Alasan-alasan yang digunakan untuk
menghindari memukul anak atau hukuman-hukuman adalah sebagai berikut:
1. Jika
seorang dewasa menghukum seorang anak dengan cara berteriak, menjerit, atau memukul,
artinya orang tua memberikan contoh yang tidak baik dalam menangani situasi
yang dalam tekanan. Anak-anak dapat meniru perilaku yang agresif dan kehilangan
kendali.
2. Hukuman
dapat menanamkan rasa takut, marah, atau sikap menghindar. Sebagai contoh,
memukul anak dapat menyebabkan anak tersebut menghindar berada di dekat orang
tua karena takut.
3. Hukuman
mengatakan hal-hal yang tidak boleh dilakukan alih-alih hal-hal yang seharusnya
dilakukan. Sebaiknya anak-anak diberi umpan balik, seperti “Mengapa kamu tidak
mencoba ini”
4. Hukuman
dapat menyiksa. Tanpa sengaja, orang tua dapat menghukum anaknya hingga di luar
batas kewajaran.
Untuk mengatasi perilaku yang salah
pada anak, sebagian besar psikolog anak menyarankan untuk mengajak anak
bernalar, khususnya dengan menjelaskan konsekuensi dari tindakan anak terhadap
orang lain. Titik akhir tentang penerapan hukuman fisik kepada anak-anak adalah
perdebatan mengenai dampak hukuman fisik pada perkembangan anak terus
berlanjut. Jika hukuman fisik digunakan, maka seharusnya hukuman tersebut
ringan, tidak sering, sesuai usia, dan digunakan dalam konteks relasi orang
tuaanak yang positif.
4.
Pengasuhan
bersama
Pengasuhan bersama yakni dukungan
yang diberiakan oleh masing-masing orang tua terhadap satu sama lain dalam membesarkan
anak. Koordinasi yang buruk di antara orang tua, rongrongan salah satu orang
tua, kurangnya kooperasi dan kehangatan, dan terputusnya hubungan dengan salah
satu orang tua, adalah kondisi-kondisi yang dapat membuat anak beresiko.
Pengasuhan bersama mengindikasikan usaha pengendalian anak-anak melebihi
pengasuhan ibu atau ayah saja. Orang tua yang tidak memiliki banyak waktu
bersama anak-anaknya atau yang memiliki masalah dalam pengasuhan anak dapat
memanfaatkan konseling dan terapi.
B.
Perlakuan
yang Salah pada Anak
Banyak hukuman yang diberikan pada
anak dengan tindak kekerasan yaitu pemukulan. Orang tua beranggapa ditandai
oleh n bahwa dengan memberikan hukuman dengan memukul, salah satu cara untuk
anak tersebut. Namun, hukuman yang salah dapat mengakibatkan perkembangan
sosioemosi pada anak menjadi buruk.
1.
Jenis-jenis
perlakuan yang salah pada anak
Ada enam tipe jenis-jenis kekerasan
pada anak yaitu, kekerasan fisik, pengabaian anak, kekerasan seksual, dan
kekerasan emosi (learinghouse on child abuse
and neglect, 2004):
1. Kekerasan
fisik ditandai dengan penderitaan cedera fisik yang disebabkan oleh pukulan,
hantaman, tendangan, tusukan, pembakaran, guncangan, atau hal-hal lain yang
melukai anak. Orang tua atau orang lain mungkin saja tidak bermaksud melukai
anak, cedera mungkin akibat dari hukuman fisik yang berlebihan.
2. Pengabaian
ditandai oleh kegagalan untuk menyediakan kebutuhan dasr anak. Pengabaian dapat
bersifat fisik (contohnya, tidak mengacuhkan), pendidikan (misalnya mengizinkan
sering membolos sekolah), atau emosi (contohnya, tidak memperhatikan kebutuhan
anak). Pengabaian anak adalah bentuk yang paling umum dari perlakuan yang salah
pada anak.
3. Kekerasan
seksual ditandai oleh mengusap genital anak, hubungan intim, inses, perkosaan,
sodomi, eksploitasi yang bersifat komersial melalui prostitusi atau memproduksi
materi-materi pornografi.
4. Kekerasan
emosional (kekerasan psikologis/kekerasan verbal/cedera mental) meliputi
tindakan atau kelalaian dari orang tua atau pengasuh lain yang menimbulkan masalah-masalah
perilaku, kognitif, atau emosi.
Meskipun semua bentuk perlakuan
yang salah terhadap anak ini dijumpai secara terpisah, bentuk-bentuk itu sering
kali terjadi dalam kombinasi. Kekerasan emosi hampir selalu ada ketika bentuk
lainnya teridentifikasi.
2.
Konteks
kekerasan
Tidak ada faktor tunggal yang
menyebabkan perlakuan yang salah pada anak. Kombinasi dari faktor-faktor
seperti kebudayaan, keluarga, dan perkembangan, agaknya berkontribusi terhadap
perlakuan yang salah pada anak. Interaksi dari semua anggota keluarga perlu
dipertimbangkan, terlepas dari siapa yang melakukan kekerasan pada anak. Kurang
lebih sepertiga orang tua yang mengalami kekerasan ketika kanak-kanak juga akan
melakukan kekerasan pada anak-anaknya sendiri.
3.
Konsekuensi
kekerasan bagi perkembangan
Beberapa konsekuensi kekerasan
terhadap perkembangan anak dan remaja adalah regulasi yang buruk, masalah
kelekatan, masalah relasi dengan kawan-kawan sebaya, kesulitan beradaptasi di
sekolah, seta masalah-masalah psikologis seperti depresi dan kenakalan remaja.
Di kemudian hari, ketika dewasa
individu yang mengalami kekerasan sering kali kesulitan dalam membentuk dan
membina relasi akrab yang sehat. Ketika dewasa, anak-anak yang mengalami
kekerasan juga sering kali melakukan kekerasan pada orang dewasa lain, terutama
terhadap pacar, suami atau isteri, dan menyalahgunakan obat terlarang, obat
anti kecemasan serta depresi.
C.
Relasi
dengan Saudara Kandung dan Urutan Keluarga
1.
Relasi
dengan saudara kandung
Siapa pun yang pernah dibesarkan dengan
saudara kandung, mungkin memiliki memori yang kaya tentang interaksi agresif
dan bermusuhan. Ketika berusia 2 hingga 4 tahun, rata-rata saudara kandung akan
berkonflik setiap 10 menit sekali, kemudian konflik akan berkurang ketika
berusia sekitar 5 hingga 7 tahun.
Orang tua yang ikut campur dan
membiarkan konflik antarsaudara kandung memanas bukanlah hal cara yang baik.
Orang tua menjadi penengah diantara mereka dan memberikan solusi yang tepat
kepada mereka supaya tidak konflik berlanjut. Relasi dengan saudara kandung
bukan hanya konflik namun juga saling
membantu, berbagi, mengajarkan, dan bermain. Saudara kandung juga dapat
bertindak sebagai pendukung, pesaing, maupun mitra berkomunikasi. Ada tiga
jenis karakteristik penting relasi dengan saudara kandung:
1. Kualitas
emosi relasi. Baik emosi positif dan negatif yang intensif sering kali saling
diekspresikan di antara saudara kandung. Sebagian besar anak-anak dan remaja
memiliki perasaan yang bercampur baur terhadap saudara kandungnya.
2. Rasa
kekeluargaan dan keakraban relasi itu. Saudara kandung biasanya sangat mengenal
satu sama lain, dan keakraban ini mengindikasikan bahwa mereka dapat saling
mendukung, mengoda, atau menyepelekan, tergantung situasinya.
3. Variasi
dalam relasi dengan saudara kandung. Beberapa saudara kandung mendeskripsikan
relasi mereka secara lebih positif
daripada saudara kandung lainnya.
2.
Urutan
kelahiran
Kedudukan seorang anak sebagai
saudara yang lebih tua atau lebih muda, berkaitan dengan perkembangan sejumlah
karakteristik kepribadian. Sebagai contoh penelitian terbaru menyimpulkan bahwa
“ anak pertama adalah anak yang paling pandai, berhasil, dan berhati-hati,
sementara adik-adiknya adalah anak pembakang, liberal, dan mudak setuju”.
Dibandingkan adik-adiknya, anak pertama cenderung lebih dewasa, lebih penolong,
konformis, dan dapat mengendalikan diri. meskipun demikian, perbedaan-perbedaan
akibat urutan kelahiran tersebut sangat sedikit laporannya.
Konsep yang populer menyatakan
bahwa anak tunggal adalah anak manja, dengan karakteristik yang tidak
menyenangkan seperti dependen, kurang kendali diri, dan berpusat pada diri
sendiri. Anak tunggal sering berorientasi pada prestasi dan memperlihatkan
kepribadian yang menyenangkan, khususnya dibandingkan dengan anak yang lahir
dari keluarga besar.
Faktor-faktor penting lainnya dalam
kehidupan anak-anak mempengaruhi perilaku selain urutan kelahiran yaitu
keturunan, contoh kompetensi atau inkompetensi yang di tampilkan orang tua ke
anak-anak dalam kehidupan sehari-hari, pengaruh kawan sebaya, pengaruh sekolah,
faktor-faktor sosio ekonomi, faktor-faktor sosio-historis, dan variasi budaya.
D. Perubahan
Keluarga di dalam Sebuah Masyarakat yang Berubah
Lebih dari sekadar variasi jumlah
saudara kandung, keluarga dimana anak-anak dibesarkan berbeda-beda dalam banyak
hal yang penting. Dalam kehidupan bermasyarakat banyak perbedaan antara
keluarga yang lainnya. Setiap keluarga memiliki karakter orang tua yang
berbeda-beda. Pada keluarga-keluarga dengan dua orang tua, anak-anak bisa saja
tinggal di dalam keluarga dengan kedua orang tua bekerja, orang tua yang pernah
bercerai, atau orang tua gay atau lesbian.
1.
Orang
Tua yang Bekerja
Bekerja dapat berdampak positif
maupun negatif terhadap pengasuhan. Penelitian terbaru mengindikasikan bahwa
yang penting dari perkembangan anak
adalah sifat dari pekerjaan orang tua alih-alih salah satu atau kedua orang tua
bekerja di luar rumah. Orang tua dengan kondisi kerja yang tidak mendukung,
seperti jam kerja yang panjang, lembur, menimbulkan stres, dan tidak adanya
otonomi dalam pekerjaan, cenderung akan memyulitkan di rumah dan memberi pila
pengasuhan yang kurang efektif daripada orang tua dengan kondisi pekerjaan yang
lebih baik.
2.
Anak-anak
dari Keluarga Bercerai
Sebagian besar peneliti sepakat
bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga bercerai memperlihatkan penyesuaian
diri yang lebih buruk dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari keluarga
utuh. Dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga utuh, anak-anak yang berasal
dari keluarga bercerai cenderung memperlihatkan masalah-masalah akademis,
masalah eksternal (seperti berulah dan kenakalan remaja), kurang memiliki
tanggung jawab sosial, kurang kompeten dalam relasi yang akrab, putus sekolah,
aktif secara seksual di usia dini, mengomsumsi obat-obatan, bergabung dengan
kawan-kawan antisosial, memiliki penghargaan diri yang rendah, dan kurang
mengembangkan kelekatan yang aman sebagai orang dewasa awal.
Jika stres dan kekacauan di dalam
relasi keluarga berkaitan dengan pernikahan yang tidak bahagia, dipenuhi
konflik, dan mengikis kesejahteraan anak-anak itu dapat dikurangi dengan
perceraian, atau hidup dalam keluarga dengan keluarga tunggal, maka perceraian
mungkin merupakan hal yang baik. Meskipun demikian, jika perceraian mengakibatkan
berkurangnya sumber daya dan meningkatkan resiko yang disebabkan oleh
perceraian juga disertai dengan pengasuhan yang tidak memadai atau konflik yang
berkepanjangan, tidak hanya di antara pasangan namun juga orang tua, anak-anak,
dan saudara kandung, maka demi anak-anak sebaiknya pernikahan yang tidak
bahagia itu dipertahankan.
Faktor-faktor yang termasuk risiko
dan kerentanan anak adalah penyesuaian diri sebelum perceraian, kepribadian,
dan temperamen, gender, dan hak pengasuhan. Anak-anak yang orang tuanya akan
bercerai memperlihatkan penyesuaian diri yang buruk sebelum perceraian yang
terjadi. Anak-anak yang secara sosial matang dan bertanggung jawab, yang hanya memperlihatkan
sedikit masalah perilaku, dan yang memiliki temperamen yang baik, lebih mampu
menghadapi perceraian orang tuanya. Anak-anak dengan temperamen yang sulit
sering kali mengalami kesulitan mengatasi perceraian orang tuanya.
3.
Orang
Tua Gay dan Lesbian
Seperti pasangan heteroseksual,
orang tua gay dan lesbian sangat bervariasi. Mereka mungkin saja tidak menikah
atau memiliki pasangan dari gender yang sama. Banyak ibu yang lesbian dan ayah
yang gay, harus memberikan hak asuh mereka kepada mantan pasangannya yang
heteroseksual. Sebagian besar anak-anak dari orang tua gay dan lesbian di
lahirkan di dalam relasi heteroseksual yang berakhir dengan perceraian. dalam
pandangan umum menyatakan bahwa pengasuhan orang tua gay atau lesbian dapat
membahayakan perkembangan anak. Meskipun demikian, para peneliti tidak
menemukan banyak perbedaan antara anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua
heteroseksual.
4.
Variasi
Budaya, Etnis, dan Sosioekonomi
Pengasuhan dapat dipengaruhi oleh
budaya, etnisitas, dan status sosioekonomi. Budaya, etnisitas, dan status
sosioekonomi sebagai bagian dari makrosistem karena mencerminkan konteks sosial
dan lebih luas.
Studi lintas budaya. Perubahan
budaya, yang dibawa oleh faktor-faktor tertentu seperti meningkatnya perjalanan
internasional, internet dan komunikasi elektronik, serta globalisasi ekonomi,
menghampiri keluarga-keluarga di seluruh dunia. Terdapat kecenderungan semakin
besar pada mobilitas keluarga, migrasi ke daerah ke perkotaan, perpisahan
karena beberapa anggota keluarga bekerja di kota atau di negara lain, keluarga
yang lebih kecil, lebih sedikit kerabat, serta jumlah ibu bekerja yang semakin
besar. Kecenderungan –kecenderungan ini dapat mengubah sumber daya yang
tersedia bagi anak-anak. Sebagai contoh, ketika beberapa generasi tidak lagi
tinggal berdekatan, anak-anak dapat kehilangan dukungan dan bimbingan dari
kakek-nenek, tante, dan paman. Sisi positifnya, keluarga yang semakin kecil
dapat menghasilkan keterbukaan dan komunikasi yang lebih baik antara orang tua
dan anak.
Etnisitas. Keluarga dengan orang
tua tunggal lebih umum di kalangan orang-orang Afrika-Amerika dan orang-orang
Latin dibandingkan orang-orang Amerika kulit putih. Dibandingkan dengan rumah
tangga dengan orang tua lengkap, orang tua tunggal memiliki keterbatasan sumber
daya, misalnya waktu, keuangan, dan energi. Orang tua dari etnis minoritas juga
kurang berpendidikan dan cenderung lebih banyak tinggal di lingkungan dengan
pendapatan rendah dibandingkan orang tua kulit putih. Namun demikian, banyak keluarga
minoritas yang hidupnya sederhana dapat membesarkan anak-anak yang kompeten.
Anak-anak dan orang tua dari
minoritas etnik diharapkan dapat mengatasi aspek-aspek dominan dari latar
belakang budaya dan identitas mereka. Mereka akan mengalami berbagai tingkatan alkulturasi, yaitu perubahan budaya yang
terjadi ketika satu budaya bersinggungan dengan budaya lain. Sebagai contoh,
orang tua Asia-Amerika mungkin merasa sulit untuk memodifikasi gaya
pengendalian tradisional mereka ketika menghadapi gaya pengasuhan yang lebih
permisif pada budaya minoritas.
Status sosioekonomi. Dibandingkan
keluarga berpenghasilan tinggi, keluarga berpenghasilan rendah kurang memiliki
akses terhadap sumber daya. Perbedaan akses terhadap sumber daya ini mencakup
nutrisi, layanan kesehatan, asuransi kecelakaan, serta kesempatan memperkaya
pendidikan seperti tutorial dan aktivitas. Perbedaan-perbedaan ini terkumpul
dalam keluarga berpenghasilan rendah dengan karakteristik kemiskinan jangka
panjang.
2.3 Relasi dengan Kawan
Sebaya, Bermain dan Televisi
Keluarga merupakan sebuah konteks
sosial yang penting bagi perkembangan anak-anak. Meskipun demikian,
perkembangan anak-anak juga dipengaruhi oleh hal-hal yang berlangsung di
konteks sosial lain, seperti di dalam kelompok sebaya dan ketika anak-anak
bermain atau menonton televisi.
A.
Relasi
dengan Kawan Sebaya
Ketika anak-anak semakin besar,
mereka semakin banyak meluangkan waktu dengan kawan-kawan sebayanya, yakni
anak-anak yang kurang lebih berusia atau memiliki level kematangan yang sama.
1.
Fungsi
Kelompok Kawan Sebaya
Fungsi kelompok sebaya adalah
menyediakan sumber informasi dan sumber perbandingan mengenai dunia di luar
keluarga. Anak-anak menerima umpan balik mengenai kemampuannya dari kelompok
kawan sebaya. Anak-anak mengevaluasi hal-hal yang mereka lakukan sebagai
sesuatu yang lebih baik, sama baik, atau lebih buruk, dibandingkan yang
dilakukan anak-anak lain. Penilaian-penilaian ini sulit dilakukan di rumah
karena saudara-saudara kandung mereka biasanya lebih tua atau lebih muda.
Kawan-kawan sebaya yang baik
merupakan hal yang diperlukan bagi perkembangan sosial yang normal. Fokus
perhatiannya adalah anak-anak yang menarik diri yang ditolak oleh kawan-kawan
sebaya atau yang dijadikan korban dan merasa kesepian, berisiko mengembangkan sejumlah
masalah, termasuk kenakalan remaja dan putus sekolah.
2.
Perubahan
Perkembangan
Ketika berusia 3 tahun, anak-anak
lebih memilih menghabiskan waktunya dengan kawan-kawan sesama gender
dibandingkan dengan lawan jenis, prefensi ini meningkat di masa kanak-kanak
awal. Selama tahun yang sama, frekuensi interaksi di antara kawan-kawan sebaya,
memperlihatkan peningkatan, baik yang bersifat positif maupun negatif. Pada
anak-anak prasekolah interaksi dengan kawan sebaya banyak yang warnai dengan
sekedar bercakap-cakap mengenai hal-hal seperti “berunding, berdebat, dan
menyepakati aturan-aturan dalam bermain. Selama masa kanak-kanak awal,
interaksi anak-anak dengan kawan sebaya menjadi lebih terkoordinasi, lebih
lama, dan berurutan.
3.
Sahabat
Di masa kanak-kanak awal, anak-anak
membedakan antara sahabat dan nonsahabat. Bagi sebagian besar anak-anak,
seorang sahabat adalah orang yang diajak bermain. Anak-anak prasekolah
cenderung memiliki sahabat yang berbeda gender dan etnisitasnya daripada anak
yang lebih tua.
4.
Dunia
yang Terkoneksi dalam Relasi Orang Tua, Anak, dan Kawan Sebaya
Orang tua dapat mempengaruhi relasi
anak-anak dengan kawan sebayanya melalui berbagai cara, baik langsung maupun
tidak langsung. Orang tua memengaruhi relasi tersebut melalui interaksi mereka
dengan anak-anak, cara orang tua mengelola kehidupan anak-anak, serta
kesempatan yang diberikan kepada anak-anak. Sebuah penelitian mengungkapkan
bahwa kehangatan, saran, dan kesempatan yang diberikan oleh ibu dan ayah
terkait dengan kompetensi sosial anak-anak (perilaku prososial yang tinggi,
agresi yang rendah), dan selanjutnya ke penerimaan sosial (disukai oleh
kawan-kawan sebaya dan guru).
Keputusan daya hidup mendasar yang
dibuat oleh orang tua, pilihan lingkungan tempat tinggal, tempat ibadah, sekolah,
dan teman-teman sangat menentukan kumpulan orang yang akan dipilih oleh
anak-anak sebagai temannya. Pilihan ini akan memengaruhi tempat bertemunya
anak-anak, tujuan interaksinya, dan akhirnya menjadi teman mereka.
Meskipun relasi orang tua-anak mempengaruhi
relasi anak-kawan sebaya, anak-anak juga mempelajari bentuk lain dari relasi
melalui relasi mereka dengan kawan sebaya. Sebagai contoh, permainan fisik
terjadi umumnya antara anak dengan kawan
sebaya, bukan pada interaksi anak-orang tua. Ketika sedang tertekan, anak-anak
akan mendatangi orang tuanya untuk mencari dukungan, bukan kawan sebayanya. Dalam
relasi orang tua-anak, anak-anak belajar menghubungkan figur otoritas. Dengan
kawan sebaya, anak-anak akan berinteraksi secara setara dan belajar membentuk
relasi berdasarkan pengaruh bersama.
B.
Bermain
Sebagian besar interaksi dengan
kawan-kawan sebaya selama masa kanak-kanak melibatkan kegiatan bermain, namun
bermain sosial merupakan salah satu dari tipe bermain. Bermain merupakan salah
satu aktivitas menyenangkan yang dilakukan demi aktivitas itu sendiri, bermain
memiliki fungsi dan bentuk.
1.
Fungsi
Bermain
Bermain penting bagi perkembangan
kognitif dan sosia-emosi anak-anak. Bermain dapat membantu dalam mengatasi
kecemasan dan konflik-konflik lainnya. Karena ketegangan dapat diredakan
melalui aktivitas bermain, anak dapat mengatasi masalah hidupnya. Bermain
memungkinkan anak untuk memungkinkan anak untuk mengeluarkan kelebihan energi
dan melepaskan ketegangan yang tertahan. Anak-anak dapat merasa kurang terancam
dan cenderung lebih dapat mengekspresikan perasaan-perasaan sebenarnya di dalam
konteks bermain.
Bermain sebagai aktivitas yang
menggairahkan dan menyenangkan karena bermain memuaskan dorongan eksplorasi
kita. Dorongan ini mencakup rasa ingin tahu dan hasrat untuk memperoleh
informasi mengenai sesuatu yang baru atau tidak biasa.
2.
Tipe-Tipe
Bermain
Tipe-tipe permainananak yang banyak
dipelajari adalah permainan sensorimotor serta permainan praktis, permainan
pura-pura/simbolik, permainan sosial, permainan konstruktif, dan games.
Permainan sensorimotor dan praktis
permainan sensorimotor (sensorimotor play)
adalah perilaku yang dilakukan bayi untuk memperoleh kesenangan melalui
skema-skema sensorimotornya. Bayi biasanya terlibat dalam permainan visual,
eksploratif, dan motorik. Sebagai contoh, di usia 9 bulan, bayi mulai memilih
obyek-obyek baru untuk di eksplorasi dan dimainkan, khususnya obyek-obyek
responsif, seperti mainan yang dapat menimbulkan suara atau melambung.
Permainan praktis (pratice play) melibatkan pengulangan
perilaku, yang terjadi ketika sejumlah keterampilan baru sedang dipelajari,
atau ketika anak dituntut untuk memiliki penguasaan fisik ataupun mental dan
mengoordinasi keterampilan yang diperlukan untuk permainan atau olahraga.
Permainan pura-pura atau simbolik (pretence/simbolic play) terjadi ketika
seorang anak mengubah lingkungan fisik menjadi sebuah simbol. Ketika berusia 9
hingga 30 bulan, anak-anak meningkatkan penggunaan obyek di dalam permainan
simbolik. Mereka belajar mengubah obyek, menganggap obyek itu menjadi obyek
lain, serta memperlakukan obyek itu seolah-olah menjadi obyek lainnya itu.
Sebagai contoh, daun dianggap sebagai uang. Permainan pura-pura adalah aspek
penting dalam perkembangan anak-anak kecil dan sering kali merefleksikan
kemajuan perkembangan kognitifnya, terutama sebagi indikasi dan pemahaman
simbolis.
Permainan sosial (social play) adalah kegiatan bermain
yang melibatkan interaksi dengan kawan-kawan sebaya. Permainan sosial meningkat
secara dramatis selama masa prasekolah. Bagi sebagian besar anak-anak,
permainan sosial adalah konteks utama bagi interaksi sosial anak-anak dengan
kawan sebayanya. Permainan sosial mencakup berbagai pertukaran seperti
bergantian, percakapan berbagai topik, permainan dan rutinitas sosial, serta
permainan fisik.
Permaian konstruktif (constructive play) mengkombinasikan
permainan sensorimotor/praktis dengan representasi simbolik. Bermain
konstruktif terjadi ketika anak-anak terlibat kreasi yang bersifat
regulasi-diri dari sebuah produk atau solusi. Bermain konstruktif meningkat di
masa prasekolah sebagaimana permainan simbolik meningkat dan permainan
sensorimotork menurun. Bermain konstruktif juga merupakan bentuk permainan yang
sering dilakukan di tahun-tahn sekolah dasar, baik di dalam maupun di luar
kelas.
Games adalah aktivitas yang
dilakukan untuk memperoleh kesenangan dan memiliki aturan-aturan. Games sering
kali bersifat kompetitif. Anak-anak prasekolah mungkin mulai berpartisipasi di
dalam permainan sosial yang mencakup aturan-aturan sederhana yang bersifat
timbal balik.
C.
Televisi
Meskipun televisi hanyalah salah
satu dari berbagai tipe media-massa yang mempengaruhi perilaku anak-anak,
televisi memberikan dampak yang paling besar. Sebagian besar anak-anak
meluangkan lebih banyak waktu di depan televisi daripada di depan orang tuanya.
Televisi dapat memberikan dampak negatif terhadap anak-anak karena televisi
membuat anak-anak malas belajar, melalaikan pekerjaan rumah, mengajarkan
stereotif, menyediakan model-model yang agresif, dan menayangkan tayangan yang
tidak realistis mengenai dunia. Meskipun demikian, televisi dapat memberikan
dampak positif bagi perkembangan
anak-anak melalui penayangan program-program pendidikan yang dapat memotivasi,
serta menyediakan model-model dari perilaku prososial.
1.
Efek
Televisi Terhadap Agresi Anak
Penelitian menemukan kaitan antara
menonton tayangan kekerasan di televisi
ketika masih anak-anak dan tindakan agresif
beberapa tahun kemudian. Sebagai contoh, dalam suatu penelitian ,
paparan kekerasan media pada usia 6 hingga 10 tahun terkait dengan perilaku
agresif orang dewasa muda.
Selain tayangan kekerasan televisi,
kini juga terdapat kekhawatiran sehubungan dengan meningkatnya kecenderungan
anak-anak bermain video games yang
bertema kekerasan, khususnya tayangan yang realistik.
2.
Dampak
Televisi Terhadap Perilaku Prososial Anak
Televisi
juga dapat mengajarkan anak-anak lebih baik bertindak secara positif,
prososial, dibandingkan secara negatif dan antisosial.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkembangan sosio-emosi di masa
kanak-kanak awal sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
perkembangan emosi dan kepribadian, keluarga, dan relasi dengan kawan sebaya,
bermain, dan televisi. Faktor-faktor inilah yang menentukan kehidupan mereka
selanjutnya.
Perkembangan emosi dan kepribadian
di masa kanak-kanak awal berasal dari diri, perkembangan emosi, perkembangan
moral dan gender. Semua itu sangat mempengaruhi perkembangan anak-anak dari
dalam dirinya sendiri. Emosi anak-anak kecil meluas seiring dengan meningkatnya
pengalaman emosi sadar-diri seperti bangga, malu, dan rasa bersalah.
Perkembangan moral melibatkan pikiran, perasaan, dan tindakan dalam
mempertimbangkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan ketika
berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan peran gender dalam anak-anak adalah
menentukan bagaimana seorang pria dan wanita seharusnya berpikir, bertindak,
dan merasa.
Keluarga adalah yang berperan utama
dalam penentuan perkembangan sosio-emosi pada anak, karena kehidupan sehari-hari
selalu dalam lingkungan keluarga. Cara keluarga dapat mempengaruhi perkembangan
anak-anak yaitu pengasuhan, perlakuan yang salah terhadap anak, relasi dengan
saudara kandung dan urutan kelahiran, dan perubahan keluarga di dalam
masyarakat yang berubah. Empat gaya pengasuhan yang utama adalah otoritarian,
otoritatif, melalaikan, dan memanjakan. Pengasuhan yang salah terhadap anak
dapat membuat anak memiliki risiko untuk mengalami masalah-masalah akademis,
emosi, dan sosial. Diantara saudara kandung terjadi interaksi satu sama lain
dalam cara yang positif maupun negatif. Kondisi keluarga yang orang tua yang
keduanya bekerja, orang tua bercerai, orang tua gay dan lesbian, dan variasi
budaya, etnis, dan sosioekonomi sangat menganggu perkembangan sosio-emosi anak.
Relasi dengan kawan sebaya,
bermain, dan televisi juga memiliki peran di dalam perkembangan anak.
Kawan-kawan sebaya menyediakan sumber informasi dan sumber perbandingan dengan
dunia di luar keluarga. Bermain dapat memiliki fungsi melepaskan ketegangan,
meningkatkan perkembangan kognitif, ekplorasi, dan menyediakan tempat
bersinggah yang aman. Televisi dapat memberikan dampak negatif ( seperti
menjadikan anak pelajar yang pasif dan menyediakan mereka model-model yang
agresif) maupun dampak positif (seperti menyediakan model-model untuk tingkah
laku prososial) bagi perkembangan anak-anak.
3.2 Saran
Dalam materi ini kita sudah
mempelajari beberapa faktor-faktor yang
berpengaruh dalam perkembangan sosio-emosi kanak-kanak awal. Sebagai calon
orang tua harus peduli dengan kondisi perkembangan anak dengan memberikan pola
asuh yang benar tidak melakukan hukuman kekerasan terhadap anak. Menjadi orang
tua yang patut di contoh dalam kehidupan sehari-hari dan membimbing pergaulan
dengan kawan sebayanya serta mengontrol
kegiatan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Santrock, John W .
2011. Life-Span Development ( Edisi
Ketiga belas Jilid Satu). Jakarta : Erlangga
0 komentar:
Post a Comment
Komentar anda marupakan motivasi buat penulis...