Saturday, 8 November 2014

Perkembangan Sosio-emosi Di Masa Kanak-Kanak Awal


Perkembangan Sosio-emosi Di Masa Kanak-Kanak Awal


1.1  Latar Belakang
Emosi merupakan perasaan yang terjadi ketika seseorang berada dalam suatu kondisi atau terlibat dari suatu interaksi yang penting baginya. Emosi ditandai dengan perilaku yang mencerminkan rasa senang atau tidak senang dari seseorang yang sedang berada dalam suatu kondisi atau interaksi.
Sebagai bayi, perkembangan sosioemosi anak-anak menunjukan kemajuan berarti ketika pengasuhnya (terutama orang tua) mensosialisasikan mereka, dan mereka mengembangkan cara yang lebih rumit untuk memulai interaksi sosial dengan orang lain. Perkembangan kelekatan yang aman adalah aspek kunci perkembangan bayi, dan perkembangan otonomi di tahun kedua kehidupan menyiratkan pencapaian penting. Ketika anak-anak melewati masa bayi, penting bagi pengasuh untuk memandu anak-anak meregulasi emosi mereka. Temperamen pun menjadi karakteristik sentral dari profil bayi dan beberapa gaya temperamen lebih adaptif daripada gaya lain. Mengasuh anak menjadi lebih umum di tahun-tahun terakhir ini, dan kualitasnya berbeda-beda. Orang tua tetap berperan penting dalam perkembangan anak di awal masa kanak-kanak, namun kini kawan sebaya pun mulai berperan.
Pada masa kanak-kanak awal, kehidupan emosi dan kepribadian anak-anak memperlihatkan perkembangan yang berarti. Seiring dengan proses ini, dunia mereka yang dulunya kecil ini menjadi terbuka lebih lebar. Selain pengaruh relasi keluarga, kawan-kawan sebaya mulai berperan dalam perkembangan anak-anak untuk mengisi kehidupan sehari-hari.
Dalam artikel ini akan membahas tentang perkembangan emosi dan kepribadian anak, pengaruh keluarga terhadap perkembangan anak, dan peran sebaya, bermain, dan televisi dalam perkembangan anak.
Perkembangan sosioemosi dimasa anak-anak perlu di pahami dan dapat diterapkan dalam perilaku sehari-hari untuk mengasuh anak-anak awal. Dengan mengetahui hal tersebut seorang anak dapat berkembang dengan baik dan memiliki kepribadian yang baik. Perkembangan masa kanak-kanak awal yang baik akan mmbuat perkembangan selanjutnya akan menjadi baik, begitu pula sebaliknya jika perkembangan masa kanak-kanak awal kurang baik maka perkembangan selanjutnya akan kurang baik juga.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Emosi dan Perkembangan Kepribadian
Di masa kanak-kanak awal, perkembangan sosio-emosi anak-anak kecil ditandai oleh sejumlah perubahan. Perkembangan pikiran serta pengalaman emosi yang terjadi menghasilkan kemajuan yang nyata dalam perkembangan diri, kematangan emosi, pemahaman moral, serta kesadaran gender.
1.      Diri
Di masa kanak-kanak awal, anak-anak berkembang sedemikian rupa sehingga mereka mampu menambah pengenalan dirinya.
a.      Inisiatif versus Rasa Bersalah
Pada masa kanak-kanak awal, anak-anak menjadi lebih yakin bahwa mereka adalah diri mereka sendiri. Selama masa kanak-kanak awal, mereka mulai menemukan pribadi yang diinginkan. Secara intensif mereka mengidentifikasi kepada orang tuanya, yang hampir selalu terlihat kuat dan cantik, meskipun seringkali tidak masuk akal, tidak sependapat, dan kadangkala membahayakan. Selama kanak-kanak awal, anak-anak menggunakan keterampilan perseptual, motorik, kognitif, dan bahasa untuk melakukan sesuatu. Mereka memiliki kelebihan energi yang memungkinkan melupakan kegagalan-kegagalannya dengan cepat dan mendekati area-area baru yang terlihat menarik bahkan meskipun area-area itu terlihat berbahaya tanpa kekurangan energi dan rasa keterarahan yang meningkat. Pada tahap ini, dengan inisiatifnya sendiri, anak-anak dengan gembira bergerak menuju dunia sosial yang lebih luas. Inisiatif ini di pimpin oleh  suara hati. Inisiatif dan antusias mereka tidak hanya memberi reward, namun juga rasa bersalah, yang dapat menurunkan penghargaan diri.
b.      Pemahaman Diri dan Memahami Orang Lain
Sebuah penelitian hasil terbaru mengungkapkan bahwa anak kecil lebih paham secara psikologis kepada diri sendiri dan orang lain daripada yang selama ini dibayangkan. Meningkatnya pemahaman psikologi anak ini mencerminkan  kerumitan psikologis anak.
1.      Pemahaman diri
Seorang anak kecil dengan jelas telah memulai mengembangkan pemahaman diri, yang merupakan representasi diri, substansi dan isi dari konsepsi diri. Meskipun bukan merupakan identitas personal yang menyeluruh, pemahaman diri menyediakan pondasi yang rasional.
Di masa kanak-kanak awal, anak-anak kecil berpikir bahwa diri dapat dideskripsikan  menurut berbagai karakteristik material, seperti ukuran, bentuk, dan warna. Mereka membedakan dirinya dengan orang lain melalui atribut fisik dan mental. Berbagai aktivitas fisik juga merupakan sebuah komponen sentral dari diri di masa kanak-kanak awal.
Meskipun anak-anak kecil seringkali mendeskripsikan dirinya sendiri dengan hal-hal yang kongkret, terlihat, serta aktivitas. Ketika usia 4 atau 5 tahun, dimana mereka mendengar orang lain menggunakan sifat psikologis dan istilah-istilah emosi, mereka mulai memasukkan istilah dan sifat itu dalam penjelasan mengenai mereka sendiri. Dalam suatu deskripsi diri, seorang anak berusia 4 tahun mungkin akan berkata “Saya tidak takut. Saya selalu bahagia”.
Deskripsi diri seorang anak kecil biasanya positif secara realistis, seperti yang tercermin dalam komentar seorang anak berusia 4 tahun mengatakan bahwa ia selalu bahagia padahal sebenarnya tidak. Anak-anak mendeskripsikan optimism ini karena mereka belum dapat membedakan antara kompetensi yang diinginkan dan kompetensi sebenarnya. Anak-anak juga cenderung menyamakan kemampuan dan usaha. Mereka berpikir bahwa perbedaan kemampuan dapat diubah dengan mudah sebagaimana perbedaan usaha tidak melakukan perbandingan sosial spontan terhadap kemampuan mereka dengan kemampuan orang lain, dan cenderung membandingkan kemampuan mereka yang sekarang dengan kemampuan mereka pada usia yang lebih kecil.
2.      Memahami orang lain
Anak-anak membuat kemajuan dalam hal memahami orang lain di masa kanak-kanak awal. Pada usia sekitar 4 tahun hingga 5 tahun, anak-anak tidak hanya mulai menjelaskan diri mereka sendiri dalam istilah sifat-sifat psikologis, namun mereka juga mempersepsikan orang lain demikian. Mungkin saja anak usia 4 tahun berkata, “Guruku baik sekali”.
Peneliti telah menemukan bahwa anak-anak usia 4 tahun pun mengerti seseorang mungkin akan membuat pernyataan yang tidak benar untuk memperoleh apa yang diinginkan atau menghindari masalah. Aspek penting lainnya dari memahami orang lain meliputi pemahaman tentang komitmen bersama.

2.      Perkembangan Emosi
Kesadaran mengenai diri yang berkembang pada seorang anak kecil berkaitan dengan kemampuan merasakan rentang emosinya yang semakin luas. Seperti orang dewasa, anak-anak kecil mengalami berbagai emosi dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan emosi di masa kanak-kanak awal membuat mereka mencoba untuk memahami reaksi-reaksi emosi orang lain dan mengendalikan emosinya sendiri.
a.      Mengekspresikan Emosi
Rasa bangga, malu, bersalah, adalah contoh dari emosi sadar diri. Emosi-emosi sadar diri tidak terlihat berkembang hingga kesadaran diri muncul di sekitar usia 18 bulan. Selama proses bertahun-tahun kehidupan kanak-kanak awal, emosi-emosi seperti bangga dan rasa bersalah menjadi lebih umum. Secara khusus mereka dipengaruhi oleh respons-respons orang tua terhadap tingkah laku anak. Sebagai contoh, seorang anak kecil merasa malu ketika orang tuanya mengatakan ,”Kamu seharusnya merasa bersalah karena telah memukul saudara perempuanmu”.
b.      Memahami Emosi
Perubahan yang paling penting di dalam perkembangan emosi masa kanak-kanak awal adalah peningkatan pemahaman terhadap emosi. Selama masa kanak-kanak awal, anak-anak semakin memahami suatu situasi dapat menimbulkan emosi tertentu, ekspresi wajah mengindikasikan emosi tertentu, emosi mempengaruhi tingkah laku, serta emosi dapat digunakan untuk mempengaruhi emosi orang lain.
Antara usia 2 hingga 4 tahun, anak-anak memperlihatkan peningkatan jumlah istilah yang mereka gunakan untuk mendeskripsikan emosi. Selama masa ini, anak-anak juga belajar mengetahui penyebab dan konsekuensi dari perasaan-perasaan. Ketika anak berusia 4 hingga 5 tahun, mereka memperlihatkan adanya peningkatan kesadaran sehingga mereka perlu mengelola emosi-emosi mereka agar dapat memenuhi standar sosial. Pada usia 5 tahun, sebagian besar anak-anak dapat menemukan emosi secara akurat, yang diperoleh dengan menghadapi lingkungan serta menjelaskan strategi yang mereka lakukan dalam mengatasi tekanan sehari-hari.
c.       Regulasi Emosi
Regulasi emosi sangat berperan penting pada kemampuan anak-anak mengelola tuntutan dan konflik yang dihadapi dalam berinteraksi dengan orang lain.
1.      Orang tua yang melatih emosi dan menolak emosi.
Orang tua dapat berperan penting dalam membantu anak-anak meregulasi emosi mereka. Orang tua yang melatih emosi mengawasi emosi anak-anaknya, memandang emosi negatif anak sebagai kesempatan untuk melatih, membantu anak-anak melabeli emosi, serta melatih anak-anak bagaimana mengatasi emosi secara efektif. Sebaliknya, orang tua yang menolak emosi memandang peran mereka untuk menolak, mengabaikan, atau mengubah emosi negatif. Orang tua yang melatih emosi berinteraksi dengan anak-anaknya dengan cara yang tidak menampik, lebih banyak mendukung dan memuji, dan lebih bersifat mengasuh daripada orang tua yang menolak emosi. Lebih jauh lagi, anak-anak dari orang tua yang melatih emosi lebih dapat menenangkan diri ketika sedang marah, lebih efektif dalam meregulasi dampak negatif, lebih baik dalam memfokuskan atensi dan memiliki lebih sedikit masalah.
2.      Regulasi emosi dan relasi dengan  kawan sebaya.
Emosi berperan penting dalam menentukan keberhasilan relasi anak-anak dengan kawan sebaya. Anak-anak yang moody dan negatif secara emosi cenderung ditolak oleh kawan-kawan sebayanya, di mana anak-anak yang positif secara emosi lebih populer. Anak usia 4 tahun mengenali dan menyusun strategi untuk mengendalikan amarahnya lebih baik dari anak usia 3 tahun.

3.      Perkembangan Moral
Perkembangan moral mencakup perkembangan pikiran, perasaan, dan perilaku menurut aturan dan kebiasaan mengenai hal-hal yang seharusnya dilakukan seseorang ketika berinteraksi dengan orang lain. Teori-teori perkembangan utama memfokuskan aspek-aspek yang berbeda dari perkembangan moral.
1.      Perasaan moral
Rasa cemas dan rasa bersalah merupakan hal penting dalam menjelaskan perkembangan moral. Menurut Freud, untuk meredakan kecemasan, menghindari hukuman, dan mempertahankan afeksi orang tua, anak-anak beridentifikasi dengan orang tua, mengenali standar-standar mengenai benar atau salah, sehingga terbentuklah superego sebagai elemen moral dari kepribadian.
Selain rasa bersalah dan cemas, yang mempengaruhi perasaan moral adalah empati, yaitu reaksi terhadap perasaan-perasaan orang lain dengan respons emosi yang serupa dengan perasaan-perasaan orang lain. Untuk tindakan moral yang efektif, anak-anak perlu belajar bagaimana mengidentifikasi berbagai kondisi emosi dan mengantisipasi tindakan-tindakan yang dapat membantu kondisi emosi orang lain membantu perkembangan moral anak-anak.
2.      Penalaran moral
Dari usia 4 hingga 7 tahun, anak-anak memperlihatkan moralitas heteronom, tahap pertama dari perkembangan moral dalam teori Piaget. Dalam pikiran anak-anak, keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah dan terlepas dari kendali manusia.
Dari usia 7 hingga 10 tahun, anak-anak yang berada di dalam suatu transisi memperlihatkan beberapa ciri dari tahap pertama penalaran moral dan beberapa ciri dari tahap kedua, moralitas otonom. Usia 10 tahun keatas, anak-anak memperlihatkan moralitas otonom. Mereka menyadari aturan-aturan dan hukum-hukum yang diciptakan oleh manusia, menilai suatu tindakan, dan mempertimbangkan intensi pelaku maupun konsekuensinya.
Karena anak-anak kecil adalah para moralis heteronom, mereka menilai kebenaran perilaku berdasarkan konsekuensi dari perilaku itu., bukan berdasarkan intensi dari pelaku. Para pemikir heteronom juga berkeyakinan bahwa aturan-aturan tidak dapat diubah dan ditetapkan otoritas yang berkuasa sepenuhnya. Sebaliknya, anak-anak yang lebih tua para moralis otonom menerima dan mengetahui bahwa aturan-aturan yang ada hanya merupakan perjanjian-perjanjian yang disepakati bersama untuk kepentingan kenyamanan, yang dapat diubah.
Para pemikit heteronom juga percaya pada keadilan yang pasti ada, yaitu konsep bahwa hukuman akan langsung diberikan jika sebuah aturan dilanggar. Anak kecil  berkeyakinan bahwa sebuah penyimpangan secara otomatis berkaitan dengan hukuman. Anak-anak yang lebih besar, para moralis otonom mengetahui bahwa hukuman tidak dapat diletakkan hanya jika seseorang yang menyaksikan perbuatan salah yang dilakukannya.
Didalam kelompok kawan-kawan sebaya, anak yang satu memiliki pengaruh dan status yang sama dengan anak lainnya, rencana-rencana dinegosiasi dan dikoordinasi, serta tidak kesetujuan diungkapkan dan akhirnya disepakati. Relasi orang tua-anak, dimana orang tua lebih berpengaruh dibandingkan kawan-kawan, kurang melatih pnalaran moral yang sulit, karena aturan-aturan seringkali ditetapkan secara autoritarian.
3.      Perilaku moral
Proses penguatan, hukuman, dan imitasi menjelaskan perkembangan perilaku moral. Ketika anak-anak diberikan penghargaan karena menampilkan perilaku yang sesuai dengan hukum dan kebiasaan sosial, mereka cenderung akan mengulang perilaku itu. Ketika mereka diberikan panutan moral, anak-anak cenderung mengadopsi tindakan mereka. Di samping itu, ketika anak-anak dihukum  karena perilaku yang tidak bermoral, perilaku itu cenderung tidak diulangi. Meskipun demikian, hukuman dapat memiliki dampak negatif.
4.      Hati nurani
Hati nurani mengacu pada regulasi standar internal tentang benar dan salah yang melibatkan integrasi dari ketiga komponen perkembangan moral , pemikiran moral, perasaan, dan perilaku. Anak-anak telah menyadari hal yang benar dan salah, memiliki kapasitas untuk menunjukan empati terhadap orang lain, mengalami rasa bersalah, menunjukan perasaan tidak nyaman setelah melakukan pelanggaran, dan sensitif apabila melanggar peraturan. Hal yang penting adalah adanya kemauan dari anak-anak untuk mengambil nilai-nilai dari orang tuanya yang diperoleh dari relasi yang akrab dan positif.
5.      Pengasuhan dan perkembangan moral anak
Diantara aspek-aspek terpenting dari relasi antara orang tua dan anak-anak yang berkontribusi terhadap perkembangan moral anak-anak adalah kualitas relasi, disiplin orang tua, strategi proaktif, dan dialog berkomunikasi. Kewajiban orang tua adalah memberikan pengasuhan yang positif dan mengarahkan anak-anak untuk menjadi manusia yang kompeten. Kewajiban anak-anak adalah merespons dengan pantas inisiatif orang tua dan mempertahankan relasi yang positif dengan orang tua.
Strategi pengasuhan yang penting adalah untuk secara proaktif menghindari potensi perilaku yang salah oleh anak-anak sebelum hal itu terjadi. Untuk anak-anak yang lebih kecil, menjadi proaktif berarti menggunakan pengalihan, seperti mengalihkan perhatian anak-anak atau memberikan aktivitas alternatif. Untuk anak-anak yang lebih besar, menjadi proaktif adalah berkomunikasi kepada mereka mengenai nilai-nilai yang dianggap penting oleh orang tua.
Komunikasi dapat direncanakan atau secara spontan dan brrfokus topik seperti kejadian-kejadian yang sudah terjadi(perilaku salah atau yang baik), bebagai kejadian yang sedang datang (pergi kesuatu tempat yang menimbulkan perilaku positif) dan kejadian yang mendadak (berkomunikasi kepada anak tentang luapan marah saudaranya).

4.      Gender
Identitas gender yang merujuk kepada penghayatan seseorang terhadap gendernya, termasuk pengetahuan, pemahaman, dan penerimaan menjadi pria atau wanita, dimana sebagian besar anak-anak memperolehnya ketika mereka berusia 3 tahun. Peran gender merupakan seperangakat ekspektasi yang menentukan bagaimana wanita dan pria seharusnya berpikir, bertindak, dan merasa. Selama masa prasekolah, kebanyakan anak-anak mulai bertindak sesuai dengan peran gender yang ditetapkan oleh budaya yang berlaku. Tipe gender mengacu pada penerapan peran tradisional dari maskulin atau feminim. Sebagai contoh, berkelahi adalah karakter peran tradisional maskulin dan menangis karakter peran tradisional feminim.
1.      Pengaruh Biologis
Sejumlah faktor biologis yang berpengaruh adalah kromosom, hormon, dan evolusi. Pasangan ke-23 terdiri dari kombinasi kromosom X dan Y, biasanya terdapat dua kromosom X pada wanita terkadang juga sebuah kromosom X dan sebuah kromosom Y pada pria. Hormon berperan penting dalam perkembangan perbedaan oleh gonads (indung telur pada wanita, testes pada pria). Estrogen, estradiol mempengaruhi perkembangan karakteristik fisik pada wanita. Androgen, seperti testosteron, mendorong perkembangan karakteristik fisik pada pria. Hormon seks dapat memengaruhi perkembangan sosio-emosi anak-anak.
Menurut psikologi evolusioner, adaptasi selama evolusi manusia mengakibatkan perbedaan antara pria dan wanita. Karena perbedaan peran mereka dalam reproduksi, pria dan wanita menghadapi tekanan yang berbeda ketika spesies manusia berevolusi. Secara khusus, karena pria cenderung akan mewariskan gen-gen mereka, seleksi alam akan mengantungkan pria yang mengadopsi strategi jangka-pendek dalam berpasangan. Para psikolog evolusioner menyatakan bahwa pria mengembangkan disposisi yang mengarah pada perilaku menganggu, kompetisi, dan mengambil resiko.
Sebaliknya, menurut psikolog evolusioner kontribusi wanita terhadap pewarisan gen akan mengalami kemajuan ketika mereka menjamin sumberdaya yang dapat memastikan bahwa keturunan mereka akan bertahan hidup. Konsekuensinya, seleksi natural cenderung memilih wanita yang mendedikasikan usahanya dalam pengasuhan dan memilih pasangan yang berhasil, anbisisus, yang memiliki sumberdaya dan mampu melindungi keturunannya.
Kritik terhadap psikolog evolusioner menyatakan bahwa hipotesisnya hanya didasarkan pada spekulasi mengenai prasejarah, bukan didasarkan pada fakta, dan bahwa dalam semua situasi manusia tidak terikat pada perilaku yang adaptif untuk evolusi di masa lalu.
2.      Pengaruh Sosial
Banyak ilmuan sosial tidak melandaskan penyebab perbedaan psikologis dari gender pada disposisi. Mereka berpendapat bahwa perbedaan ini berkaitan dengan pengalaman sosial. Kaitan antara pengalaman dengan perbedaan gender dijelaskan oleh teori-teori sosial dan kognitif.
a.       Teori-teori Sosial Mengenai Gender
Terdapat tiga teori sosial mengenai gender teori peran sosial, teori psikoanalitik, dan teori sosial kognitif. Teori peran sosial (social role theory) yang menyatakan bahwa perbedaan gender disebabkan oleh adanya peran yang kontras antara wanita dan pria. Pada sebagian besar budaya di seluruh dunia, wanita memiliki kekuasaan dan status yang lebih rendah dibandingkan pria. Wanita juga memiliki kendali kecil dibandingkan pria. Dibandingkan dengan pria, wanita lebih banyak mengerjakan tugas-tugas domestik, lebih sedikit meluangkan waktu dalam pekerjaan yang dibayar, menerima pendapatan yang lebih kecil, dan jarang menempati level tertinggi dalam suatu organisasi.
Teori psikoanalisis mengenai gender (psychoanalytic theory of gender), anak prasekolah mengembangkan semacam ketertarikan seksual terhadap orang tua dengan gender yang berbeda. Proses inilah yang disebut disebut sebagai Oedipus (untuk anak laki-laki) atau electra (untuk anak perempuan) complex. Ketika berusia 5 atau 6 tahun, seorang anak meninggalkan ketertarikan ini karena perasaan cemas. Setelah itu, anak beridentifikasi dengan orang tua dengan gender yang sama ini. Anak-anak memiliki karakteristik yang tipikal sesuai gendernya, sebelum berusia 5 atau 6 tahun, mereka menjadi maskulin atau feminim meskipun orang tua dengan gender yang sama tidak hadir di dalam keluarga.
Teori kognitif sosial mengenai gender (social cognitive theory of gender), perkembangan gender anak-anak terjadi melalui observasi dan imitasi terhadap hal-hal yang dikatakan dan dilakukan orang lain, serta melalui penghargaan dan hukuman yang diterima untuk perilaku yang sesuai dan tidak sesuai dengan gender. Semenjak dilahirkan, para pria dan wanita diperlakukan secara berbeda. Ketika para bayi dan balita memperlihatkan perbedaan gender, orang dewasa cenderung memberi penghargaan. Orang tua seringkali menggunakan metode hadiah dan hukuman ketika mengajar anak perempuannya untuk menjadi feminim dan anak-anak laki-lakinya menjadi maskulin. Budaya, sekolah, kawan sebaya, media, dan para anggota keluarga lainnya juga menjadi model peran gender.
Pengaruh orang tua, melalui tindakan dan melalui contoh yang di berikan, mempengaruhi perkembangan gender anak-anaknya . Baik ibu maupun ayah penting secara psikologis terhadap perkembangan gender  anak mereka. Meskipun demikian, budaya di seluruh dunia cenderung memberikan peran yang berbeda kepada mereka.
Di banyak budaya, ibu  mensosialisasikan anak perempuannya agar lebih patuh dan bertanggung jawab dari pada laki-laki. Ibu juga memberikan lebih banyak batasan terhadap otonomi anak perempuan. Ayah menunjukan atensi lebih kepada anak laki-laki daripada anak perempuan, lebih banyak melakukan aktivitas dangan anak laki-laki, serta lebih mendukung perkembangan intelektual anak laki-laki. Orang tua memberikan diskriminasi yang paling awal berkaitan dengan peran gender. Meskipun demikian, tidak lama kemudian, kawan sebaya ikut serta dalam proses merespons dan meniru perilaku maskulin dan feminim. Bahkan, kawan-kawan sebaya berperan penting bagi perkembangan gender sedemikian rupa sehingga taman bermain disebut sebagai “sekolah gender”.
Kawan-kawan sebaya secara luas menghargai dan menghukum perilaku gender. Sebagai contoh, ketika anak bermain dengan cara yang menurut budaya dinyatakan sesuai dengan gendernya, kawan-kawan sebaya cenderung menghargai mereka. Namun kawan-kawan sebaya sering kali menolak anak-anak yang bertindak dengan cara yang dianggap lebih mencerminkan karakteristik dari gender lain.
Gender membentuk aspek-aspek yang penting dalam relasi dengan kawan sebaya. Gender mempengaruhi komposisi dari kelompok anak-anak, ukuran kelompok, serta interaksi di dalam kelompok.
Ketika menginjak usia sekitar 3 tahun, anak-anak sudah memperlihatkan prefensi untuk menghabiskan waktu dengan teman-teman bermain yang bergender sama. Dari usia 4 hingga 12 tahun, perfensi untuk bermain dengan kelompok gender yang sama meningkat, dan selama tahun-tahun sekolah dasar anak-anak melewatkan sebagian besar waktu luangnya dengan anak-anak yang bergender sama.
Ukuran kelompok, usia anak 5 tahun keatas, anak laki-laki cenderung bergabung dengan kelompok yang lebih besar dibandingkan anak perempuan. Anak laki-laki juga cenderung berpartisipasi di dalam berbagai permainan kelompok yang lebih terorganisasi dibandingkan anak perempuan.
Interaksi dalam kelompok yang bergender sama. Dibandingkan anak perempuan, anak laki-laki lebih suka terlibat di dalam permainan fisik, berkompetisi, berkonflik, memperlihatkan ego, beresiko, dan mencari dominasi. Sebaliknya, anak-anak perempuan lebih suka terlibat dalam “percakapan kolaborati”, dimana mereka berbicara dan bertindak secara timbal balik.
3.      Pengaruh kognitif
Observasi, imitasi, hadiah, dan hukuman semua merupakan mekanisme di mana gender berkembang sesuai teori kognitif sosial. Menurut pandangan ini, interaksi antara anak dan lingkungan sosial merupakan kunci utama bagi perkembangan gender.
Sebuah teori kognitif yang berpengaruh adalah teori skema gender, yang menyatakan bahwa tipe gender terjadi ketika anak-anak secara bertahap mengembangkan skema gender atas sesuai gender dan tidaak sesuai gender dalam budaya mereka. Sebuah skema gender mengorganisasi dunia berdasarkan wanita dan pria. Anak-anak secara internal termotivasi untuk memersepsikan dunia dan bertindak sesuai dengan skema mereka yang berkembang itu. Sedikit demi sedikit, anak-anak memahami hal-hal yang sesuai gender dan yang tidak sesuai gender dalam budaya mereka, dan mengembangkan skema gender yang membentuk persepsi mereka terhadap dunia dan apa yang mereka ingat. Anak-anak lebih termotivasi untuk bertindak sesuai dengan skema gender tersebut. Jadi, skema gender menjadi landasan bagi tipe gender.

2.2  Keluarga
Kelekatan (attachment) pada seorang pengasuh merupakan relasi sosial yang penting selama masa bayi. Perkembangan sosial dan emosi juga dibentuk oleh relasi-relasi lain dan oleh temperamen, konteks, pengalaman sosial di awal kanak-kanak, serta di masa selanjutnya.

A.    Pengasuhan
Pengasuhan yang baik menarik memerlukan waktu dan usaha. Perkembangan anak bukanlah kuantitas waktu yang diluangkan orang tua untuk anak-anaknya kualitas pengasuhan juga penting. Gaya pengasuhan yang digunakan setiap orang tua bervariasi.
1.      Gaya pengasuhan Baumrind
Diana Baumrind (1971) berkeyakinan bahwa orang tua seharusnya tidak menghukum atau bersikap dingin kepada anak-anaknya. Orang tua seharusnya mengembangkan aturan-aturan dan bersikap hangat kepada anak-anaknya. Ia mendeskripsikan empat tipe gaya pengasuhan:
1.      Pengasuhan otoritarian (authoritarian parenting) adalah gaya yang bersifat membatasi dan menghukum, di mana orang tua mendesak anaknya agar mematuhi orang tua serta menghormati usaha dan jerih payah mereka. Orang tua otoritarian menempatkan batasan-batasan dan kendali yang tegas pada anak serta tidak memberi peluang kepada anak-anak untuk bermusyawarah. Orang tua ototarian juga mungkin memukul anak, menetapkan aturan-aturan secara kaku tanpa memberikan penjelasan, dan menunjukan kemarahan terhadap anak. Anak-anak dari orang tua ototaritarian sering kali tidak bahagia, takut, dan cemas ketika membandingkan dirinya dengan orang lain, tidak memiliki inisiatif, dan memiliki keterampilan komunikasi yang buruk.
2.      Pengasuhan otoritatif (authoritative parenting) adalah mendorong anak-anak untuk mandiri namun masih tetap memberi batasan dan kendali atas tindakan-tindakan anak. Orang tua masih memberikan kesempatan untuk berdialog secara verbal. Di samping itu orang tua juga bersifat hangat dan mengasuh. Orang tua otoritatif memperlihatkan rasa senang dan dukungan sebagai respons tingkah laku yang matang, mandiri, dan sesuai usia anak-anaknya. Anak-anak yang orang tuanya otoritatif seringkali terlihat riang gembira, memiliki kendali dirinya dan percaya diri. Mereka cenderung mempertahankan relasi yang bersahabat dengan kawan-kawan sebaya, kooperatif dengan orang dewasa, dan mampu mengatasi stres dengan baik.
3.      Pengasuhan yang melalaikan (neglectful parenting) adalah gaya dimana orang tua sangat sangat tidak terlibat di dalam kehidupan anak. Anak-anak yang orang tuanya lalai mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek lain dari kehidupan orang tua lebih penting daripada mereka. Anak-anak cenderung tidak kompeten dalam sosial. Banyak anak-anak yang kurang memiliki kendali diri dan tidak mampu independensi secara baik. Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah, tidak matang, dan mungkin terasing dari keluarga.
4.      Pengasuhan yang memanjakan (indulgent parenting) adalah gaya dimana orang tua sangat terlibat dengan anaknya namun kurang memberikan tuntutan atau kendali terhadap mereka. Orang tua semacam ini membiarkan anak-anaknya melakukan apapun yang mereka inginkan. Hasilnya adalah anak-anak yang tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap kemauan mereka dituruti. Anak-anak dari orang tua yang memanjakan, jarang belajar menghormati orang lain dan kesulitan mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi egosentris, tidak patuh, dan kesulitan relasi dengan kawan sebaya.
2.      Gaya pengasuhan dalam konteks
Gaya pengasuhan konteks merupakan gaya yang diterapkan sesuai dengan etnis atau kebudayaan masing-masing tempat. Sebagai contoh, orang tua Asia-Amerika seringkali melanjutkan praktik pengasuhan tradisional Asia yang kadangkala bersifat otoritarian. Orang tua tersebut menerapkan kendali yang ketat terhadap kehidupan anak-anak.
3.      Hukuman
Selama berabad-abad, hukuman fisik seperti memukul, dianggap sebagai sebuah keharusan dan bahkan metode yang dipilih untuk mendisiplinkan anak-anak. Sebuah riset menyimpulkan bahwa hukuman fisik oleh orang tua diasosiasikan dengan level kepatuhan langsung dan agresi yang lebih tinggi pada anak-anak.
Alasan-alasan yang digunakan untuk menghindari memukul anak atau hukuman-hukuman adalah sebagai berikut:
1.      Jika seorang dewasa menghukum seorang anak dengan cara berteriak, menjerit, atau memukul, artinya orang tua memberikan contoh yang tidak baik dalam menangani situasi yang dalam tekanan. Anak-anak dapat meniru perilaku yang agresif dan kehilangan kendali.
2.      Hukuman dapat menanamkan rasa takut, marah, atau sikap menghindar. Sebagai contoh, memukul anak dapat menyebabkan anak tersebut menghindar berada di dekat orang tua karena takut.
3.      Hukuman mengatakan hal-hal yang tidak boleh dilakukan alih-alih hal-hal yang seharusnya dilakukan. Sebaiknya anak-anak diberi umpan balik, seperti “Mengapa kamu tidak mencoba ini”
4.      Hukuman dapat menyiksa. Tanpa sengaja, orang tua dapat menghukum anaknya hingga di luar batas kewajaran.
Untuk mengatasi perilaku yang salah pada anak, sebagian besar psikolog anak menyarankan untuk mengajak anak bernalar, khususnya dengan menjelaskan konsekuensi dari tindakan anak terhadap orang lain. Titik akhir tentang penerapan hukuman fisik kepada anak-anak adalah perdebatan mengenai dampak hukuman fisik pada perkembangan anak terus berlanjut. Jika hukuman fisik digunakan, maka seharusnya hukuman tersebut ringan, tidak sering, sesuai usia, dan digunakan dalam konteks relasi orang tuaanak yang positif.
4.      Pengasuhan bersama
Pengasuhan bersama yakni dukungan yang diberiakan oleh masing-masing orang tua terhadap satu sama lain dalam membesarkan anak. Koordinasi yang buruk di antara orang tua, rongrongan salah satu orang tua, kurangnya kooperasi dan kehangatan, dan terputusnya hubungan dengan salah satu orang tua, adalah kondisi-kondisi yang dapat membuat anak beresiko. Pengasuhan bersama mengindikasikan usaha pengendalian anak-anak melebihi pengasuhan ibu atau ayah saja. Orang tua yang tidak memiliki banyak waktu bersama anak-anaknya atau yang memiliki masalah dalam pengasuhan anak dapat memanfaatkan konseling dan terapi.

B.     Perlakuan yang Salah pada Anak
Banyak hukuman yang diberikan pada anak dengan tindak kekerasan yaitu pemukulan. Orang tua beranggapa ditandai oleh n bahwa dengan memberikan hukuman dengan memukul, salah satu cara untuk anak tersebut. Namun, hukuman yang salah dapat mengakibatkan perkembangan sosioemosi pada anak menjadi buruk.
1.      Jenis-jenis perlakuan yang salah pada anak
Ada enam tipe jenis-jenis kekerasan pada anak yaitu, kekerasan fisik, pengabaian anak, kekerasan seksual, dan kekerasan emosi (learinghouse on child abuse and neglect, 2004):
1.      Kekerasan fisik ditandai dengan penderitaan cedera fisik yang disebabkan oleh pukulan, hantaman, tendangan, tusukan, pembakaran, guncangan, atau hal-hal lain yang melukai anak. Orang tua atau orang lain mungkin saja tidak bermaksud melukai anak, cedera mungkin akibat dari hukuman fisik yang berlebihan.
2.      Pengabaian ditandai oleh kegagalan untuk menyediakan kebutuhan dasr anak. Pengabaian dapat bersifat fisik (contohnya, tidak mengacuhkan), pendidikan (misalnya mengizinkan sering membolos sekolah), atau emosi (contohnya, tidak memperhatikan kebutuhan anak). Pengabaian anak adalah bentuk yang paling umum dari perlakuan yang salah pada anak.
3.      Kekerasan seksual ditandai oleh mengusap genital anak, hubungan intim, inses, perkosaan, sodomi, eksploitasi yang bersifat komersial melalui prostitusi atau memproduksi materi-materi pornografi.
4.      Kekerasan emosional (kekerasan psikologis/kekerasan verbal/cedera mental) meliputi tindakan atau kelalaian dari orang tua atau pengasuh lain yang menimbulkan masalah-masalah perilaku, kognitif, atau emosi.
Meskipun semua bentuk perlakuan yang salah terhadap anak ini dijumpai secara terpisah, bentuk-bentuk itu sering kali terjadi dalam kombinasi. Kekerasan emosi hampir selalu ada ketika bentuk lainnya teridentifikasi.
2.      Konteks kekerasan
Tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan perlakuan yang salah pada anak. Kombinasi dari faktor-faktor seperti kebudayaan, keluarga, dan perkembangan, agaknya berkontribusi terhadap perlakuan yang salah pada anak. Interaksi dari semua anggota keluarga perlu dipertimbangkan, terlepas dari siapa yang melakukan kekerasan pada anak. Kurang lebih sepertiga orang tua yang mengalami kekerasan ketika kanak-kanak juga akan melakukan kekerasan pada anak-anaknya sendiri.
3.      Konsekuensi kekerasan bagi perkembangan
Beberapa konsekuensi kekerasan terhadap perkembangan anak dan remaja adalah regulasi yang buruk, masalah kelekatan, masalah relasi dengan kawan-kawan sebaya, kesulitan beradaptasi di sekolah, seta masalah-masalah psikologis seperti depresi dan kenakalan remaja.
Di kemudian hari, ketika dewasa individu yang mengalami kekerasan sering kali kesulitan dalam membentuk dan membina relasi akrab yang sehat. Ketika dewasa, anak-anak yang mengalami kekerasan juga sering kali melakukan kekerasan pada orang dewasa lain, terutama terhadap pacar, suami atau isteri, dan menyalahgunakan obat terlarang, obat anti kecemasan serta depresi.

C.    Relasi dengan Saudara Kandung dan Urutan Keluarga
1.      Relasi dengan saudara kandung
Siapa pun yang pernah dibesarkan dengan saudara kandung, mungkin memiliki memori yang kaya tentang interaksi agresif dan bermusuhan. Ketika berusia 2 hingga 4 tahun, rata-rata saudara kandung akan berkonflik setiap 10 menit sekali, kemudian konflik akan berkurang ketika berusia sekitar 5 hingga 7 tahun.
Orang tua yang ikut campur dan membiarkan konflik antarsaudara kandung memanas bukanlah hal cara yang baik. Orang tua menjadi penengah diantara mereka dan memberikan solusi yang tepat kepada mereka supaya tidak konflik berlanjut. Relasi dengan saudara kandung bukan hanya konflik namun  juga saling membantu, berbagi, mengajarkan, dan bermain. Saudara kandung juga dapat bertindak sebagai pendukung, pesaing, maupun mitra berkomunikasi. Ada tiga jenis karakteristik penting relasi dengan saudara kandung:
1.      Kualitas emosi relasi. Baik emosi positif dan negatif yang intensif sering kali saling diekspresikan di antara saudara kandung. Sebagian besar anak-anak dan remaja memiliki perasaan yang bercampur baur terhadap saudara kandungnya.
2.      Rasa kekeluargaan dan keakraban relasi itu. Saudara kandung biasanya sangat mengenal satu sama lain, dan keakraban ini mengindikasikan bahwa mereka dapat saling mendukung, mengoda, atau menyepelekan, tergantung situasinya.
3.      Variasi dalam relasi dengan saudara kandung. Beberapa saudara kandung mendeskripsikan relasi mereka secara lebih positif  daripada saudara kandung lainnya.
2.      Urutan kelahiran
Kedudukan seorang anak sebagai saudara yang lebih tua atau lebih muda, berkaitan dengan perkembangan sejumlah karakteristik kepribadian. Sebagai contoh penelitian terbaru menyimpulkan bahwa “ anak pertama adalah anak yang paling pandai, berhasil, dan berhati-hati, sementara adik-adiknya adalah anak pembakang, liberal, dan mudak setuju”. Dibandingkan adik-adiknya, anak pertama cenderung lebih dewasa, lebih penolong, konformis, dan dapat mengendalikan diri. meskipun demikian, perbedaan-perbedaan akibat urutan kelahiran tersebut sangat sedikit laporannya.
Konsep yang populer menyatakan bahwa anak tunggal adalah anak manja, dengan karakteristik yang tidak menyenangkan seperti dependen, kurang kendali diri, dan berpusat pada diri sendiri. Anak tunggal sering berorientasi pada prestasi dan memperlihatkan kepribadian yang menyenangkan, khususnya dibandingkan dengan anak yang lahir dari keluarga besar.
Faktor-faktor penting lainnya dalam kehidupan anak-anak mempengaruhi perilaku selain urutan kelahiran yaitu keturunan, contoh kompetensi atau inkompetensi yang di tampilkan orang tua ke anak-anak dalam kehidupan sehari-hari, pengaruh kawan sebaya, pengaruh sekolah, faktor-faktor sosio ekonomi, faktor-faktor sosio-historis, dan variasi budaya.

D. Perubahan Keluarga di dalam Sebuah Masyarakat yang Berubah
Lebih dari sekadar variasi jumlah saudara kandung, keluarga dimana anak-anak dibesarkan berbeda-beda dalam banyak hal yang penting. Dalam kehidupan bermasyarakat banyak perbedaan antara keluarga yang lainnya. Setiap keluarga memiliki karakter orang tua yang berbeda-beda. Pada keluarga-keluarga dengan dua orang tua, anak-anak bisa saja tinggal di dalam keluarga dengan kedua orang tua bekerja, orang tua yang pernah bercerai, atau orang tua gay atau lesbian.
1.      Orang Tua yang Bekerja
Bekerja dapat berdampak positif maupun negatif terhadap pengasuhan. Penelitian terbaru mengindikasikan bahwa yang penting dari perkembangan  anak adalah sifat dari pekerjaan orang tua alih-alih salah satu atau kedua orang tua bekerja di luar rumah. Orang tua dengan kondisi kerja yang tidak mendukung, seperti jam kerja yang panjang, lembur, menimbulkan stres, dan tidak adanya otonomi dalam pekerjaan, cenderung akan memyulitkan di rumah dan memberi pila pengasuhan yang kurang efektif daripada orang tua dengan kondisi pekerjaan yang lebih baik.
2.      Anak-anak dari Keluarga Bercerai
Sebagian besar peneliti sepakat bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga bercerai memperlihatkan penyesuaian diri yang lebih buruk dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari keluarga utuh. Dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga utuh, anak-anak yang berasal dari keluarga bercerai cenderung memperlihatkan masalah-masalah akademis, masalah eksternal (seperti berulah dan kenakalan remaja), kurang memiliki tanggung jawab sosial, kurang kompeten dalam relasi yang akrab, putus sekolah, aktif secara seksual di usia dini, mengomsumsi obat-obatan, bergabung dengan kawan-kawan antisosial, memiliki penghargaan diri yang rendah, dan kurang mengembangkan kelekatan yang aman sebagai orang dewasa awal.
Jika stres dan kekacauan di dalam relasi keluarga berkaitan dengan pernikahan yang tidak bahagia, dipenuhi konflik, dan mengikis kesejahteraan anak-anak itu dapat dikurangi dengan perceraian, atau hidup dalam keluarga dengan keluarga tunggal, maka perceraian mungkin merupakan hal yang baik. Meskipun demikian, jika perceraian mengakibatkan berkurangnya sumber daya dan meningkatkan resiko yang disebabkan oleh perceraian juga disertai dengan pengasuhan yang tidak memadai atau konflik yang berkepanjangan, tidak hanya di antara pasangan namun juga orang tua, anak-anak, dan saudara kandung, maka demi anak-anak sebaiknya pernikahan yang tidak bahagia itu dipertahankan.
Faktor-faktor yang termasuk risiko dan kerentanan anak adalah penyesuaian diri sebelum perceraian, kepribadian, dan temperamen, gender, dan hak pengasuhan. Anak-anak yang orang tuanya akan bercerai memperlihatkan penyesuaian diri yang buruk sebelum perceraian yang terjadi. Anak-anak yang secara sosial matang dan bertanggung jawab, yang hanya memperlihatkan sedikit masalah perilaku, dan yang memiliki temperamen yang baik, lebih mampu menghadapi perceraian orang tuanya. Anak-anak dengan temperamen yang sulit sering kali mengalami kesulitan mengatasi perceraian orang tuanya.
3.      Orang Tua Gay dan Lesbian
Seperti pasangan heteroseksual, orang tua gay dan lesbian sangat bervariasi. Mereka mungkin saja tidak menikah atau memiliki pasangan dari gender yang sama. Banyak ibu yang lesbian dan ayah yang gay, harus memberikan hak asuh mereka kepada mantan pasangannya yang heteroseksual. Sebagian besar anak-anak dari orang tua gay dan lesbian di lahirkan di dalam relasi heteroseksual yang berakhir dengan perceraian. dalam pandangan umum menyatakan bahwa pengasuhan orang tua gay atau lesbian dapat membahayakan perkembangan anak. Meskipun demikian, para peneliti tidak menemukan banyak perbedaan antara anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua heteroseksual.
4.      Variasi Budaya, Etnis, dan Sosioekonomi
Pengasuhan dapat dipengaruhi oleh budaya, etnisitas, dan status sosioekonomi. Budaya, etnisitas, dan status sosioekonomi sebagai bagian dari makrosistem karena mencerminkan konteks sosial dan lebih luas.
Studi lintas budaya. Perubahan budaya, yang dibawa oleh faktor-faktor tertentu seperti meningkatnya perjalanan internasional, internet dan komunikasi elektronik, serta globalisasi ekonomi, menghampiri keluarga-keluarga di seluruh dunia. Terdapat kecenderungan semakin besar pada mobilitas keluarga, migrasi ke daerah ke perkotaan, perpisahan karena beberapa anggota keluarga bekerja di kota atau di negara lain, keluarga yang lebih kecil, lebih sedikit kerabat, serta jumlah ibu bekerja yang semakin besar. Kecenderungan –kecenderungan ini dapat mengubah sumber daya yang tersedia bagi anak-anak. Sebagai contoh, ketika beberapa generasi tidak lagi tinggal berdekatan, anak-anak dapat kehilangan dukungan dan bimbingan dari kakek-nenek, tante, dan paman. Sisi positifnya, keluarga yang semakin kecil dapat menghasilkan keterbukaan dan komunikasi yang lebih baik antara orang tua dan anak.
Etnisitas. Keluarga dengan orang tua tunggal lebih umum di kalangan orang-orang Afrika-Amerika dan orang-orang Latin dibandingkan orang-orang Amerika kulit putih. Dibandingkan dengan rumah tangga dengan orang tua lengkap, orang tua tunggal memiliki keterbatasan sumber daya, misalnya waktu, keuangan, dan energi. Orang tua dari etnis minoritas juga kurang berpendidikan dan cenderung lebih banyak tinggal di lingkungan dengan pendapatan rendah dibandingkan orang tua kulit putih. Namun demikian, banyak keluarga minoritas yang hidupnya sederhana dapat membesarkan anak-anak yang kompeten.
Anak-anak dan orang tua dari minoritas etnik diharapkan dapat mengatasi aspek-aspek dominan dari latar belakang budaya dan identitas mereka. Mereka akan mengalami berbagai tingkatan alkulturasi, yaitu perubahan budaya yang terjadi ketika satu budaya bersinggungan dengan budaya lain. Sebagai contoh, orang tua Asia-Amerika mungkin merasa sulit untuk memodifikasi gaya pengendalian tradisional mereka ketika menghadapi gaya pengasuhan yang lebih permisif pada budaya minoritas.
Status sosioekonomi. Dibandingkan keluarga berpenghasilan tinggi, keluarga berpenghasilan rendah kurang memiliki akses terhadap sumber daya. Perbedaan akses terhadap sumber daya ini mencakup nutrisi, layanan kesehatan, asuransi kecelakaan, serta kesempatan memperkaya pendidikan seperti tutorial dan aktivitas. Perbedaan-perbedaan ini terkumpul dalam keluarga berpenghasilan rendah dengan karakteristik kemiskinan jangka panjang.

2.3  Relasi dengan Kawan Sebaya, Bermain dan Televisi
Keluarga merupakan sebuah konteks sosial yang penting bagi perkembangan anak-anak. Meskipun demikian, perkembangan anak-anak juga dipengaruhi oleh hal-hal yang berlangsung di konteks sosial lain, seperti di dalam kelompok sebaya dan ketika anak-anak bermain atau menonton televisi.

A.    Relasi dengan Kawan Sebaya
Ketika anak-anak semakin besar, mereka semakin banyak meluangkan waktu dengan kawan-kawan sebayanya, yakni anak-anak yang kurang lebih berusia atau memiliki level kematangan yang sama.
1.      Fungsi Kelompok Kawan Sebaya
Fungsi kelompok sebaya adalah menyediakan sumber informasi dan sumber perbandingan mengenai dunia di luar keluarga. Anak-anak menerima umpan balik mengenai kemampuannya dari kelompok kawan sebaya. Anak-anak mengevaluasi hal-hal yang mereka lakukan sebagai sesuatu yang lebih baik, sama baik, atau lebih buruk, dibandingkan yang dilakukan anak-anak lain. Penilaian-penilaian ini sulit dilakukan di rumah karena saudara-saudara kandung mereka biasanya lebih tua atau lebih muda.
Kawan-kawan sebaya yang baik merupakan hal yang diperlukan bagi perkembangan sosial yang normal. Fokus perhatiannya adalah anak-anak yang menarik diri yang ditolak oleh kawan-kawan sebaya atau yang dijadikan korban dan merasa kesepian, berisiko mengembangkan sejumlah masalah, termasuk kenakalan remaja dan putus sekolah.
2.      Perubahan Perkembangan
Ketika berusia 3 tahun, anak-anak lebih memilih menghabiskan waktunya dengan kawan-kawan sesama gender dibandingkan dengan lawan jenis, prefensi ini meningkat di masa kanak-kanak awal. Selama tahun yang sama, frekuensi interaksi di antara kawan-kawan sebaya, memperlihatkan peningkatan, baik yang bersifat positif maupun negatif. Pada anak-anak prasekolah interaksi dengan kawan sebaya banyak yang warnai dengan sekedar bercakap-cakap mengenai hal-hal seperti “berunding, berdebat, dan menyepakati aturan-aturan dalam bermain. Selama masa kanak-kanak awal, interaksi anak-anak dengan kawan sebaya menjadi lebih terkoordinasi, lebih lama, dan berurutan.
3.      Sahabat
Di masa kanak-kanak awal, anak-anak membedakan antara sahabat dan nonsahabat. Bagi sebagian besar anak-anak, seorang sahabat adalah orang yang diajak bermain. Anak-anak prasekolah cenderung memiliki sahabat yang berbeda gender dan etnisitasnya daripada anak yang lebih tua.
4.      Dunia yang Terkoneksi dalam Relasi Orang Tua, Anak, dan Kawan Sebaya
Orang tua dapat mempengaruhi relasi anak-anak dengan kawan sebayanya melalui berbagai cara, baik langsung maupun tidak langsung. Orang tua memengaruhi relasi tersebut melalui interaksi mereka dengan anak-anak, cara orang tua mengelola kehidupan anak-anak, serta kesempatan yang diberikan kepada anak-anak. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa kehangatan, saran, dan kesempatan yang diberikan oleh ibu dan ayah terkait dengan kompetensi sosial anak-anak (perilaku prososial yang tinggi, agresi yang rendah), dan selanjutnya ke penerimaan sosial (disukai oleh kawan-kawan sebaya dan guru).
Keputusan daya hidup mendasar yang dibuat oleh orang tua, pilihan lingkungan tempat tinggal, tempat ibadah, sekolah, dan teman-teman sangat menentukan kumpulan orang yang akan dipilih oleh anak-anak sebagai temannya. Pilihan ini akan memengaruhi tempat bertemunya anak-anak, tujuan interaksinya, dan akhirnya menjadi teman mereka.
Meskipun relasi orang tua-anak mempengaruhi relasi anak-kawan sebaya, anak-anak juga mempelajari bentuk lain dari relasi melalui relasi mereka dengan kawan sebaya. Sebagai contoh, permainan fisik terjadi  umumnya antara anak dengan kawan sebaya, bukan pada interaksi anak-orang tua. Ketika sedang tertekan, anak-anak akan mendatangi orang tuanya untuk mencari dukungan, bukan kawan sebayanya. Dalam relasi orang tua-anak, anak-anak belajar menghubungkan figur otoritas. Dengan kawan sebaya, anak-anak akan berinteraksi secara setara dan belajar membentuk relasi berdasarkan pengaruh bersama.

B.     Bermain
Sebagian besar interaksi dengan kawan-kawan sebaya selama masa kanak-kanak melibatkan kegiatan bermain, namun bermain sosial merupakan salah satu dari tipe bermain. Bermain merupakan salah satu aktivitas menyenangkan yang dilakukan demi aktivitas itu sendiri, bermain memiliki fungsi dan bentuk.
1.      Fungsi Bermain
Bermain penting bagi perkembangan kognitif dan sosia-emosi anak-anak. Bermain dapat membantu dalam mengatasi kecemasan dan konflik-konflik lainnya. Karena ketegangan dapat diredakan melalui aktivitas bermain, anak dapat mengatasi masalah hidupnya. Bermain memungkinkan anak untuk memungkinkan anak untuk mengeluarkan kelebihan energi dan melepaskan ketegangan yang tertahan. Anak-anak dapat merasa kurang terancam dan cenderung lebih dapat mengekspresikan perasaan-perasaan sebenarnya di dalam konteks bermain.
Bermain sebagai aktivitas yang menggairahkan dan menyenangkan karena bermain memuaskan dorongan eksplorasi kita. Dorongan ini mencakup rasa ingin tahu dan hasrat untuk memperoleh informasi mengenai sesuatu yang baru atau tidak biasa.
2.      Tipe-Tipe Bermain
Tipe-tipe permainananak yang banyak dipelajari adalah permainan sensorimotor serta permainan praktis, permainan pura-pura/simbolik, permainan sosial, permainan konstruktif, dan games.
Permainan sensorimotor dan praktis permainan sensorimotor (sensorimotor play) adalah perilaku yang dilakukan bayi untuk memperoleh kesenangan melalui skema-skema sensorimotornya. Bayi biasanya terlibat dalam permainan visual, eksploratif, dan motorik. Sebagai contoh, di usia 9 bulan, bayi mulai memilih obyek-obyek baru untuk di eksplorasi dan dimainkan, khususnya obyek-obyek responsif, seperti mainan yang dapat menimbulkan suara atau melambung.
Permainan praktis (pratice play) melibatkan pengulangan perilaku, yang terjadi ketika sejumlah keterampilan baru sedang dipelajari, atau ketika anak dituntut untuk memiliki penguasaan fisik ataupun mental dan mengoordinasi keterampilan yang diperlukan untuk permainan atau olahraga.
Permainan pura-pura atau simbolik (pretence/simbolic play) terjadi ketika seorang anak mengubah lingkungan fisik menjadi sebuah simbol. Ketika berusia 9 hingga 30 bulan, anak-anak meningkatkan penggunaan obyek di dalam permainan simbolik. Mereka belajar mengubah obyek, menganggap obyek itu menjadi obyek lain, serta memperlakukan obyek itu seolah-olah menjadi obyek lainnya itu. Sebagai contoh, daun dianggap sebagai uang. Permainan pura-pura adalah aspek penting dalam perkembangan anak-anak kecil dan sering kali merefleksikan kemajuan perkembangan kognitifnya, terutama sebagi indikasi dan pemahaman simbolis.
Permainan sosial (social play) adalah kegiatan bermain yang melibatkan interaksi dengan kawan-kawan sebaya. Permainan sosial meningkat secara dramatis selama masa prasekolah. Bagi sebagian besar anak-anak, permainan sosial adalah konteks utama bagi interaksi sosial anak-anak dengan kawan sebayanya. Permainan sosial mencakup berbagai pertukaran seperti bergantian, percakapan berbagai topik, permainan dan rutinitas sosial, serta permainan fisik.
Permaian konstruktif (constructive play) mengkombinasikan permainan sensorimotor/praktis dengan representasi simbolik. Bermain konstruktif terjadi ketika anak-anak terlibat kreasi yang bersifat regulasi-diri dari sebuah produk atau solusi. Bermain konstruktif meningkat di masa prasekolah sebagaimana permainan simbolik meningkat dan permainan sensorimotork menurun. Bermain konstruktif juga merupakan bentuk permainan yang sering dilakukan di tahun-tahn sekolah dasar, baik di dalam maupun di luar kelas.
Games adalah aktivitas yang dilakukan untuk memperoleh kesenangan dan memiliki aturan-aturan. Games sering kali bersifat kompetitif. Anak-anak prasekolah mungkin mulai berpartisipasi di dalam permainan sosial yang mencakup aturan-aturan sederhana yang bersifat timbal balik.

C.    Televisi
Meskipun televisi hanyalah salah satu dari berbagai tipe media-massa yang mempengaruhi perilaku anak-anak, televisi memberikan dampak yang paling besar. Sebagian besar anak-anak meluangkan lebih banyak waktu di depan televisi daripada di depan orang tuanya. Televisi dapat memberikan dampak negatif terhadap anak-anak karena televisi membuat anak-anak malas belajar, melalaikan pekerjaan rumah, mengajarkan stereotif, menyediakan model-model yang agresif, dan menayangkan tayangan yang tidak realistis mengenai dunia. Meskipun demikian, televisi dapat memberikan dampak positif  bagi perkembangan anak-anak melalui penayangan program-program pendidikan yang dapat memotivasi, serta menyediakan model-model dari perilaku prososial.
1.      Efek Televisi Terhadap Agresi Anak
Penelitian menemukan kaitan antara menonton tayangan kekerasan  di televisi ketika masih anak-anak dan tindakan agresif  beberapa tahun kemudian. Sebagai contoh, dalam suatu penelitian , paparan kekerasan media pada usia 6 hingga 10 tahun terkait dengan perilaku agresif orang dewasa muda.
Selain tayangan kekerasan televisi, kini juga terdapat kekhawatiran sehubungan dengan meningkatnya kecenderungan anak-anak bermain  video games yang bertema kekerasan, khususnya tayangan yang realistik.
2.      Dampak Televisi Terhadap Perilaku Prososial Anak
Televisi juga dapat mengajarkan anak-anak lebih baik bertindak secara positif, prososial, dibandingkan secara negatif dan antisosial.



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkembangan sosio-emosi di masa kanak-kanak awal sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya perkembangan emosi dan kepribadian, keluarga, dan relasi dengan kawan sebaya, bermain, dan televisi. Faktor-faktor inilah yang menentukan kehidupan mereka selanjutnya.
Perkembangan emosi dan kepribadian di masa kanak-kanak awal berasal dari diri, perkembangan emosi, perkembangan moral dan gender. Semua itu sangat mempengaruhi perkembangan anak-anak dari dalam dirinya sendiri. Emosi anak-anak kecil meluas seiring dengan meningkatnya pengalaman emosi sadar-diri seperti bangga, malu, dan rasa bersalah. Perkembangan moral melibatkan pikiran, perasaan, dan tindakan dalam mempertimbangkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan ketika berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan peran gender dalam anak-anak adalah menentukan bagaimana seorang pria dan wanita seharusnya berpikir, bertindak, dan merasa.
Keluarga adalah yang berperan utama dalam penentuan perkembangan sosio-emosi pada anak, karena kehidupan sehari-hari selalu dalam lingkungan keluarga. Cara keluarga dapat mempengaruhi perkembangan anak-anak yaitu pengasuhan, perlakuan yang salah terhadap anak, relasi dengan saudara kandung dan urutan kelahiran, dan perubahan keluarga di dalam masyarakat yang berubah. Empat gaya pengasuhan yang utama adalah otoritarian, otoritatif, melalaikan, dan memanjakan. Pengasuhan yang salah terhadap anak dapat membuat anak memiliki risiko untuk mengalami masalah-masalah akademis, emosi, dan sosial. Diantara saudara kandung terjadi interaksi satu sama lain dalam cara yang positif maupun negatif. Kondisi keluarga yang orang tua yang keduanya bekerja, orang tua bercerai, orang tua gay dan lesbian, dan variasi budaya, etnis, dan sosioekonomi sangat menganggu perkembangan sosio-emosi anak.
Relasi dengan kawan sebaya, bermain, dan televisi juga memiliki peran di dalam perkembangan anak. Kawan-kawan sebaya menyediakan sumber informasi dan sumber perbandingan dengan dunia di luar keluarga. Bermain dapat memiliki fungsi melepaskan ketegangan, meningkatkan perkembangan kognitif, ekplorasi, dan menyediakan tempat bersinggah yang aman. Televisi dapat memberikan dampak negatif ( seperti menjadikan anak pelajar yang pasif dan menyediakan mereka model-model yang agresif) maupun dampak positif (seperti menyediakan model-model untuk tingkah laku prososial) bagi perkembangan anak-anak.
3.2  Saran
Dalam materi ini kita sudah mempelajari  beberapa faktor-faktor yang berpengaruh dalam perkembangan sosio-emosi kanak-kanak awal. Sebagai calon orang tua harus peduli dengan kondisi perkembangan anak dengan memberikan pola asuh yang benar tidak melakukan hukuman kekerasan terhadap anak. Menjadi orang tua yang patut di contoh dalam kehidupan sehari-hari dan membimbing pergaulan dengan kawan sebayanya serta  mengontrol kegiatan sehari-hari.



DAFTAR PUSTAKA
Santrock, John W . 2011. Life-Span Development ( Edisi Ketiga belas Jilid Satu). Jakarta : Erlangga


0 komentar:

Post a Comment

Komentar anda marupakan motivasi buat penulis...